Selasa, 04 Maret 2025

Mengenal Para Srikandi Penjaga Bumi melalui Penciptaan Seni Kain Ramah Lingkungan

Memutuskan memakai baju lusuh dalam keseharian ternyata sebentuk tindakan bijak untuk menjaga bumi. Lho, kok bisa?

*** 

Namanya Nara. Perempuan pecinta drama Korea itu merupakan sosok manusia yang suka sekali memakai baju itu-itu saja. Saking seringnya pakai baju yang sama, seolah Nara tidak pernah mandi, padahal warna baju yang ia miliki memang homogen. Kalau gak hitam, ya biru dongker. 

Well, dibalik kesukaannya, Nara bukan tak pernah berganti baju atau tak memiliki kemampuan membeli baju. Sebenarnya, ia sedang menekan keinginan bersikap FOMO terhadap fast fashion dengan membeli baju baru tiap waktu. 

Menjelang hari raya, orang-orang mulai membicarakan tren baju yang bakal dipakai untuk halal bi halal, lalu, mereka memadati tiap toko baju untuk membeli pakaian baru. 

Lebaran tahun 2024 lalu misalnya. Ketika banyak orang membeli baju "shimer-shimer", Nara memilih memakai gamis jadul kesukaannya. Ia tak mau mengeluarkan uang percuma hanya untuk mengikuti tren. 

Why? Selain menambah isi lemari, kebiasaan membeli banyak baju bisa berbahaya bagi lingkungan lho. Kok bisa? By the way, pernah gak sih kamu mendengar bahwa perubahan iklim yang disebabkan oleh industri fast fashion

Perubahan iklim dan fashion? Hmmm, kelihatannya memang gak ada hubungannya ya. Tapi asal kamu tahu aja guys, kalau ternyata kebiasaan gonta-ganti pakaian secara cepat bisa merusak lingkungan dan menyebabkan peningkatan GRK di udara. 

Berdasar Earth.org disebutkan bahwa 92 juta limbah pakaian tekstil dihasilkan setiap tahunnya. 

"Dari 100 miliar pakaian yang diproduksi setiap tahun, 92 juta ton berakhir di tempat pembuangan sampah" (Earth.org

Bayangkan guys, kalau isi lemari yang enggak kamu pakai dibuang ke tempat sampah, itu udah banyak kan? Nah, angka 92 juta ton kalau dibuang, tentu saja bakal membentuk gunungan sampah baju.

Gambaran sampah pakaian yang menggunung (Sumber gambar : earth.org website)

Bayangkan guys, kalau isi lemari yang enggak kamu pakai dibuang ke tempat sampah, itu udah banyak kan? Nah, angka 92 juta ton kalau dibuang, tentu saja bakal membentuk gunungan sampah baju. 

Gunungan-gunungan sampah baju yang menumpuk tersebut tentu mengandung zat-zat berbahaya yang bila terkena sinar matahari akan menguap. Bahkan, beberapa NGO meneliti bahwa Emisi global industri pakaian jadi akan meningkat sebesar 50% pada tahun 2030.

Perlu diketahui, untuk membuat kain-kain untuk pakaian, diperlukan sumber daya dan energi yang sangat besar. Misalnya air dan batu bara sebagai bahan bakar listrik industri tekstil. Semakin besar produksi kain atau pakaian, maka semakin besar pula kebutuhan akan batu bara dan air. 

Padahal kita tahu bahwa batu bara bukanlah bahan bakar ramah lingkungan. Ketika dibakar untuk menghasilkan energi, batu bara mengeluarkan kandungan sulfur dioksida (SO2), nitrogen oksida (NOx), partikulat, dan gas rumah kaca seperti karbon dioksida (CO2) ke udara.

Bayangkan bila kandungan-kandungan tersebut terakumulasi ke udara secara terus menerus, maka akan menyebabkan peningkatan potensi global warming. Lalu soal air? Yup, dalam memproses kain maupun pakaian jadi, air digunakan untuk proses pencucian, pewarnaan, pelembutan, pemutihan, penyetelan, pemintalan, pelarutan bahan kimia.

Bayangkan, berapa banyak air yang dibutuhkan industri fashion untuk membuat produk dengan jumlah sebanyak itu? jelas tak sedikit. Masalahnya, jumlah air bersih di dunia ini sangatlah terbatas. Dari 100 persen air di bumi, 

  • 97,2% air di Bumi adalah air laut
  • 2,8% air di Bumi adalah air tawar
  • 99% air tawar di Bumi tersimpan di gletser kutub dan air tanah
  • 1% air tawar di Bumi berupa air permukaan (sungai, danau, dan rawa)

Dalam membuat pakaian, tentu saja air yang digunakan bukan air asin, sebab itu akan merusak kain. Otomatis, industri pakaian akan menggunakan air tawar yang paling mudah dijangkau. Entah diambil dari tanah atau dari sungai-sungai terdekat.

Temans, bila penggunaan air dan batu bara meningkat tajam, jelas menimbulkan serangkaian masalah lingkungan, entah pencemaran atau perubahan iklim karena peningkatan gas-gas kotor ke udara. 

Tak heran, banyak pihak mulai mencanangkan berbagai upaya untuk meredam produksi fast fashion yang merusak lingkungan. Yup, selain munculnya kampanye-kampanye penggunaan baju bekas, juga ada kampanye produksi kain maupun pakaian ramah lingkungan.

Kain dan pakaian Ramah Lingkungan, Emang ada?

Beberapa waktu lalu, ketika berada di Jogja, saya pernah datang ke sebuah pameran fashion yang mengusung Ramah Lingkungan. So, mulai dari aksesoris hingga pakaian-pakaian yang dipamerkan sangat lekat dengan alam.

Produk pakaian yang menggunakan pewarnaan alam sehingga
warna tidak mencolok seperti produk pakaian pada umumnya (dokumentasi pribadi)

Menariknya, ada sebuah toko yang menjual produk fashion berbasis ecoprint yang diklaim ramah lingkungan karena menggunakan warna-warna dan bahan dari alam untuk mewarnai kain.

Awalnya tak ada bayangan sama sekali soal teknik ecoprint karena aku belum pernah melihatnya secara langsung. Beberapa video hingga artikel yang aku baca mengatakan bahwa ecoprint memanfaatkan kulit kayu dan dedaunan untuk membuat motif di atas kain. 

Tidak seperti pewarna sintetis yang bersifat merusak alam, pewarna alami mudah terurai ketia terbuang ke lingkungan. Sebab, itu dibuat dari daun, kulit kayu, buah, atau bunga, kunyit, secang, tarum, kesumba, suji, daun ketapang, buah naga, stroberi, bit, pandan yang telah diekstraksi menjadi pewarna alami. 

Daun-daun dan kulit secang yang biasanya digunakan
untuk mewarnai kain dengan teknik Ecoprint (Dokumentasi Pribadi)

Seandainya kain-kain yang terbuat dari pewarna alami ini bisa dimanfaatkan lebih banyak orang, maka ada harapan bagi pengembangan fashion-fashion masa depan yang mengedepankan pemberian warna berbasis alam sehingga tak merusak sungai maupun tanah.

Mengenal Para Srikandi Pencipta Seni Kain Ramah Lingkungan

Pada akhir bulan lalu, tepatnya tanggal 28 Februari 2025, aku bersama dengan kawan-kawan #EcoBloggerSquad diajak untuk menyelami tema menarik yakni Fashion Reimagined : Upcycling Waste into Wearable Art"

Gathering online Eco Blogger Squad 2025 

Dalam gathering online kali ini, ada dua narasumber keren yang memiliki pengalaman membuat seni kain dengan pewarna alam. Mereka adalah Margareta Mala (Ketua Komunitas tenun Endo Segadok) dan Novita Turisia (Founder Cinta Bumi Artisan). 

Kedua narasumber dengan semangat membahas mengenai usaha-usaha mereka dalam membangun serta meluncurkan warisan budaya berupa kain melalui komunitas serta studio yang berbasis di Kalimantan dan Bali. 

Baiklah, aku akan sharing terlebih dahulu mengenai narasumber pertama yakni Kak Margareta Mala. Kak Margareta merupakan perempuan yang berasal dari Suku Dayak Iban yang berbasis di Dusun Sadap, Kabupaten Kapuas Hulu, Provinsi Kalimantan Barat. 

Kak Margaretha Mala sebagai Ketua Komunitas Tenun Dayak Iban

Bagi masyarakat Dayat Iban kain tenun merupakan peninggalan tradisi yang harus dijunjung tinggi. Keberadaan tenun laksana hartaa berharga yang harus dijaga dengan penuh kasih. Hanya saja, muda-mudi Dusun Sadap mulai meninggalkan tradisi menenun bahkan sebagian tidak pernah tahu cara menenun.

Melihat kondisi tersebut membuat Margareta tergerak. Tradisi menenun bukan hanya bicara soal mewariskan kemampuan kepada generasi muda, tetapi juga menguatkan tradisi leluhur yang telah terbentuk selama puluhan tahun.

Bagi masyarakat Dayak Iban, selembar kain yang telah ditenun oleh Inai-Inai (Para Ibu) memiliki berjuta makna mendalam. Kain tenun memiliki fungsi sakral yang mewakili kehidupan manusia dari lahir hingga meninggal. 

Tak heran, pada gathering Eco Blogger Squad, Kak Margaretha mengatakan bahwa dalam proses Nakar/Perminyakan tak boleh sembarangan, terutama untuk motif-motif sakral seperti manusia, ular, buaya dan bunga-bunga yang memiliki arti penting. 

Contoh kain tenun Dayak Iban yang belum jadi (Sumber : Buku Tenun Sadap)

Bagi yang belum tahu, proses Nakar/Perminyakan merupakan pemberian protein pada benang dengan tuuan untuk mengikat warna agar mampu bertahan lama dan memiliki warna lebih kuat pada kain. Protein bisa didapat dari minyak labi-labi, lemak ular, lemak ikan maupun lemak dari tumbuhan.

Mengapa Nakar diperlukan? Sebelumnya Kak Margaretha menjelaskan bahwa pewarna yang digunakan untuk kain berasal dari alam sehingga perlu perlu diikat menggunakan protein tertentu supaya warna kain tidak mudah luntur. Berikut ini bahan-bahan alam yang biasanya digunakan untuk pewarna.

Sumber : Buku Tenun Sadap yang diakses melalui internet
Sumber : Buku Tenun Sadap yang diakses melalui internet

By the way, dalam proses Nakar, ada hal-hal yang harus diperhatikan seperti,

  1. Nakar tidak boleh dilakukan pada saat ada orang meninggal karena dipercaya benang untuk menenun akan rapuh atau mudah putus.
  2. Pencampur ramuan untuk Nakar harus dilakukan orang tua yang sudah beruban, biasanya berusia 60 tahun lebih.
  3. Perempuan yang tengah hamil dengan menstruasi dilarang untuk melakukan kegiatan Nakar.
  4. Nakar hanya bisa dilakukan oleh perempuan, lelaki tidak diperkenankan melakukan kegiatan menenun termasuk me-Nakar.
  5. Upacara Nakar tidak boleh dilakukan di dalam rumah.
  6. Benang yang sudah dinakar harus dimasukkan ke dalam rumah betang dan dijaga sepanjang malam, tidak boleh dibiarkan begitu saja.

Dengan adanya syarat-syarat pembuatan benang tenun melalui proses Nakar, bisa dilihat bahwa kain tenun Endo Segadok bukanlah seni kain yang bisa digunakan sembarangan. Masyarakat Iban biasa menggunakan sebagai penutup kepala, pajangan, hingga pakaian namun bukan untuk bagian kaki seperti dibuat sepatu atau kaus kaki.

Saat ini, demi mewariskan tradisi menenun ini, Kak margaretha telah mengajak puluhan ibu untuk membuat kain-kain tenun yang siap dipasarkan dengan harga mulai dari ratusan ribu, jutaan hingga belasan juta Rupiah bergantung tingkat kesulitan dan besarnya kain.

Baiklah, itu dia selintas cerita mengenai Tenun cantik khas masyarakat Dayak Iban yang dibagikan oleh Kak Margaretha Mala. Selain Kak Margaretha, narasumber lain, Kak Novieta juga membagikan cerita menariknya soal seni kain berpewarna alam.

Kak Novieta, Pendiri Cinta Bumi Artisan

Kak Novieta merupakan founder Cinta Bumi Artisan---sebuah studio kain, serat dan pewarna alami yang berlokasi di Ubud, Pulau Bali pada tahun 2015. Fokus studio ini sebagai sumber edukasi dan menciptakan karya yang menggabungkan antara kesenian leluhur dan kreativitas. 

Edukasi pada anak muda dan orang dewasa yang tertarik dengan seni kain bernuansa alam sangatlah penting (dok : pemaparan oleh Kak Novieta) 

Bagi kamu yang menyukai kain-kain atau fashion berbasis ecoprint dan pewarna alami, Cinta Bumi Artisan ini bisa jadi tempat terbaik untuk belajar. Kebetulan, studio edukasi tersebut tak terbatas usia, siapapun boleh belajar. 

Saat ini, Cinta Bumi Artisan berkeinginan melestarikan produk kain-kain ramah lingkungan dengan membuat karya secara upcycled. Selain itu Kak Novi berkeinginan untuk menanam pohon-pohon penghasil pewarna alami. 

Beberapa karya yang telah dibuat oleh Cinta Bumi Artisan

Sebagai perempuan yang sadar akan nilai-nilai keberlanjutan dan seni, Kak Novieta berusaha membuat karya melalui limbah fashion berupa baju trift atau kain tak terpakai. 

Misal tersedia kaos atau kain tak terpakai, akan dibuat menjadi produk lain seperti totebag, pita rambut, syal dan sebagainya.

Totebag dari limbah kain perca yang sangat estetik

Menariknya, untuk membuat produk seni, Kak Novieta dkk menggunakan limbah dapur restoran seperti biji alpukat, kulit bawang Bombay, kulit bawang merah yang kaya akan pigmen warna sehingga bisa difungsikan kembali. 

Produk dari kain perca yang disatukan dan diberi pewarna alami, cantik bukan? (Sumber : Paparan slide Kak Novieta dalam gathering EBS) 

Well, guys, dari kedua Narasumber, keduanya merupakan Srikandi hebat yang sadar akan pentingnya keberlanjutan dan penjagaan terhadap alam. Baik Kak Margareta maupun Kak Novieta menggunakan bahan pewarna alami untuk produk kain yang mereka buat. 

Harapannya melalui penggunaan pewarna alami dalam menciptakan produk fashion, kesadaran akan bahaya limbah pewarna sintetis bisa ditekan. Selain itu, pemanfaatan limbah-limbah kain, bisa mengurangi pembuangan sampah fashion secara percuma ke alam. 

Referensi : 

  • https://www.mongabay.co.id/2020/12/21/margaretha-mala-pelestari-tenun-iban-dan-tanaman-pewarna-alami/
  • https://tfcakalimantan.org/tfcakalimantan/2024/04/5207/tenun-iban-dusun-sadap.html
  • https://earth.org/statistics-about-fast-fashion-waste/
  • Buku Tenun Sadap yang bisa diakses melalui laman https://tfcakalimantan.org/wp-content/uploads/2024/04/Buku-Tenun-Sadap-Rev-04-03-2024-PREVIEW.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam