Minggu, 15 Desember 2024

FOLU Net Sink 2030 sebagai Upaya Menjaga KEHATI dan Mitigasi Perubahan Iklim

Perjalanan menjejak Taman Nasional Danau Zamrud (dokumentasi Pribadi) 

“Ketika pohon terakhir ditebang, Ketika sungai terakhir dikosongkan, Ketika ikan terakhir ditangkap, barulah manusia akan menyadari bahwa dia tidak dapat memakan uang.” Eric Weiner 

*** 

Perahu Pompong membelah Danau Zamrud siang itu. Riak air gambut berwarna kecoklatan terlihat jelas tatkala kami bergerak dari dermaga penjemputan hingga ke bagian tengah danau. 

Sembari menyeimbangkan diri selama di perahu, saya bersama kawan-kawan dari media, Perkumpulan Elang dan petugas BBKSDA setempat berusaha secermat mungkin mengamati panorama Taman Nasional yang masih asri itu.

Perjalanan ke rumah nelayan menggunakan perahu (Dok.Pri)

Sepanjang perjalanan yang memakan waktu kurang lebih 50 menit itu, kami disuguhi bentang alam yang sangat indah, alami serta rimbun. Air gambut berwarna merah kecoklatan yang menjadi ciri khas Danau Zamrud seolah mengucapkan selamat datang kepada kami.  

Halo manusia, inilah kami kawasan Danau Gambut terbesar ke-2 dunia, selamat menikmati kekayaan alam yang kami miliki. Air gambut kecoklatan, hutan tropis yang masih pekat, kelelawar yang beterbangan hingga kicau burung yang berbahagia

Warna air di danau Zamrud karena pengaruh zat organik dari gambut (Dok.Pri)

Kekaguman yang begitu besar bergolak dalam benak. Bagaimana mungkin saya tak pernah tahu jika di bagian barat Indonesia, tepatnya di Kabupaten Siak, Riau ini ada Danau Gambut yang demikian indah dan luas. Sebelumnya, ketika bicara tentang Danau, Toba atau Sentarum selalu jadi peringkat teratas.  

Dari perjalanan inilah kemudian pikiran saya bertualang, mencoba meraba begitu kayanya alam Indonesia apabila dijaga dengan baik dan benar.  

Danau Zamrud termasuk dalam kawasan Taman Nasional yang terbentang seluas 31.480 hektare. Bentang alam yang bisa dilihat berupa perairan dan pulau-pulau yang mengapung di bagian tengah hingga sisi kiri dan kanan.  

Kawasan danau Zamrud terbagi menjadi 2 yakni danau besar seluas 2.416 hektare dan danau bawah seluas 360 hektare. Orang-orang lokal disini biasa menyebut danau dengan istilah “Tasik”. Jadi jangan bingung ketika mendengar kalimat tasik besar dan tasik kecil. 

Hari itu, 15-16 Maret 2023, saya bersama teman-teman mencoba menyusuri tasik besar menggunakan perahu pompong milik BBKSDA. Kami berangkat sekitar pukul 12 siang dari titik penjemputan perahu dan berhenti di salah satu rumah nelayan di tengah danau.

Rumah singgah nelayan yang berada di bagian tepi danau (Dok.Pri)

Rumah nelayan tempat kami berhenti itu mengapung di antara rimbunnya hutan dan air danau. Mulanya, kami hendak menginap disana untuk satu malam. Hanya saja, beberapa pertimbangan membuat kami memutuskan  hanya transit untuk makan siang. 

Rumah nelayan tempat kami makan siang dan singgah sementara (DokPri)

Sekitar pukul 13.00 lebih, kami memutuskan melanjutkan perjalanan berkeliling Danau. Lensa kamera yang kami miliki mulai aktif menjepret tiap fenomena di sekeliling.  

Tiba-tiba dari arah pepohonan yang rimbun, muncul kelelawar yang terbang secara mengelompok. Mungkin, mereka kalut setelah mendengar deru mesin yang begitu keras sehingga membuat mereka bergegas menjauh mencari lokasi lainnya.

Kelelawar yang terbang di antara pepohonan (dok.pri) 
Zoom kelelawar yang ada di Taman Nasional Danau Zamrud (dok.pri)

Para kelelawar itu merupakan satu dari sekian banyak keanekaragaman hayati yang hidup di kawasan Taman Nasional Danau Zamrud. Perlu diketahui, ada beragam jenis flora dan fauna endemik yang menempati kawasan tersebut, mulai dari tanaman, primata, mamalia, berbagai jenis burung hingga ikan dan udang.  

Indonesia memang luar biasa kaya, memiliki keanekaragaman hayati dari tingkat terkecil hingga terbesar. Ini masih dilihat dari bawah langit Sumatera, belum pulau lain seperti Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara hingga Papua. 

Saya jadi ingat perkataan Ibu Rika Anggraini (Direktur Komunikasi dan Kemitraan Yayasan KEHATI) dalam gathering online komunitas Eco Blogger tahun 2022 lalu. Beliau pernah berkata,

"Keanekaragaman hayati Indonesia itu begitu kaya dan kita patut bangga memilikinya. Keanekaragaman hayati sendiri merupakan berbagai bentuk kehidupan di semua tingkat sistem biologis termasuk molekul, organisme, populasi, spesies dan ekosistem"

Slide paparan KEHATI Indonesia dari Bu Rika Anggraini (dokumentasi pribadi)

Bangga rasanya tiap membayangkan bahwa negeri Zamrud khatulistiwa ini memiliki kekayaan tingkat tinggi mulai dari bakteri, serangga, hewan avertebrata, koral, reptil, aves, tanaman-tanaman, hingga perikanan laut dan air tawar. Gemah ripah loh jinawi.

Oke, kembali ke perjalanan di Danau Zamrud. Siang itu, kami berkesempatan melihat secara langsung aktivitas penangkapan udang merah di Danau Zamrud. Dengan cekatan, salah satu nelayan menarik keranjang besi yang tenggelam di tengah air.

Keranjang-keranjang berisi udang milik nelayan Danau Zamrud (Dok.Pri)

Keranjang-keranjang tersebut diikat menggunakan tali yang ditandai oleh botol-botol plastik. Jadi jangan salah, saat membelah danau, kita akan melihat botol-botol plastik terombang-ambing. Itu bukanlah sampah yang sengaja dibuang ke air oleh orang tak bertanggungjawab, melainkan penanda letak keranjang.

Masyarakat nelayan di wilayah Taman Nasional Danau Zamrud sangat menggantungkan hidup pada alam. Mereka mengais rezeki dengan menangkap udang merah dan beragam ikan seperti tapah, toman, baung, lele hingga ikan tawar lain.

Toman-toman yang diletakkan dalam keranjang, ada sekitar
4 toman ukuran besar yang ditangkap hari itu (Dok.Pri)
Salah satu nelayan bernama Abdul Muis yang memegang toman
hasil tangkapan (Dok.Pri)

Dengan kondisi alam yang masih lestari di wilayah Danau Zamrud, membuat komoditas air tawar mudah didapatkan. Alam yang sehat, masih menyediakan bahan makanan bagi nelayan setempat, pun dengan satwa-satwa yang hidup di area hutan. Mereka seolah hidup dengan bahagia, tanpa gangguan tangan-tangan manusia.

Pertanyaannya sekarang, apakah kawasan hutan tropis di Taman Nasional Danau Zamrud akan tetap lestari hingga 15, 20, 30, 50 atau 100 tahun mendatang? 

Tentu saja. Hutan-hutan di kawasan Taman Nasional Danau Zamrud yang berada di Semenanjung Kampar-Karumutan ini akan tetap lestari apabila dijaga bukan hanya dari masyarakat tetapi juga pemerintah melalui berbagai kolaborasi. 

Pemerintah Kabupaten Siak dan Pelalawan sendiri sudah berkomitmen terhadap FOLU Net Sink 2030, tentu saja, itu tak lepas dari dukungan semua, termasuk NGO lokal di wilayah Riau. 

Mengutip informasi dari Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Forestry and Other Land Uses atau FOLU Net-Sink 2030 merupakan kondisi dimana tingkat serapan karbon sektor kehutanan dan penggunaan lahan lainnya sudah berimbang atau bahkan lebih tinggi dari tingkat emisi yang dihasilkan sektor tersebut pada tahun 2030.

Hari kedua menginjakkan kaki ke Pekanbaru, saya dan kawan-kawan media mencoba belajar dan berdiskusi mengenai upaya-upaya pengurangan emisi karbon melalui restorasi hutan dan lahan gambut. 

Teman-teman media dan blogger tengah berdiskusi mengenai
Folu Net Sink 2030 di kantor Perkumpulan Elang (Dok. oleh Fachrul Adam)

Bertempat di kantor Perkumpulan Elang, kami diajak untuk menjelajah pikiran mengenai mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan FOLU Net Sink 2030. Berdasar nukilan informasi dari kabaralam.com, ada 15 ruang lingkup dari FOLU Net Sink 2030, yaitu:

  1. Pengurangan laju deforestasi lahan mineral.
  2. Pengurangan laju deforestasi lahan gambut dan mangrove.
  3. Pengurangan laju degradasi hutan-hutan lahan mineral.
  4. Pengurangan laju degradasi hutan lahan gambut dan mangrove.
  5. Pembangunan hutan tanaman.
  6. Pengelolaan hutan lestari.
  7. Rehabilitasi dengan rotasi.
  8. Rehabilitasi non-rotasi.
  9. Restorasi gambut dan perbaikan tata air gambut.
  10. Rehabilitasi mangrove dan aforestasi pada kawasan bekas tambang.
  11. Konservasi keanekaragaman hayati.
  12. Perhutanan sosial.
  13. Introduksi replikasi ekosistem, ruang terbuka hijau, dan ekoriparian.
  14. Pengembangan dan konsolidasi hutan adat.
  15. Pengawasan dan law enforcement dalam mendukung perlindungan dan pengamanan kawasan hutan.

Sebagai blogger yang beberapa kali mengkampanyekan tulisan mengenai lingkungan, saya sadar bahwa untuk mencapai Net Zero Emission, dibutuhkan aksi-aksi nyata yang bersifat mitigasi serta berkelanjutan. Terlebih, Indonesia termasuk negara dengan kawasan hutan tropis dan gambut terluas di dunia.

Bila melihat kembali keluaran GRK di Indonesia, sekitar 40% berasal dari sektor hutan dan lahan. Dengan demikian, untuk menggapai target FoLU (Forest and other Land Uses) Net Sink 2030, salah satunya dalam hal pelestarian lahan gambut dan mangrove, maka perlu memperkuat pengelolaan hutan lestari, tata kelola lingkungan hidup, dan tata kelola karbon.

Dari tingkat masyarakat pun, perlu adanya sosialisasi menjaga lahan gambut. Kondisi ini tak lepas dari kebiasaan masyarakat yang suka membakar lahan sembarangan. Padahal. membakar lahan gambut sangat berbahaya. Berpotensi merusak hutan dan lahan secara masal.

Janes Sinaga dan MUI dari Jakarta (Dokumentasi Pribadi)

"Masyarakat terbiasa membakar lahan gambut untuk mengurangi asam yang ada pada gambut, dengan demikian, perlu ada pendampingan agar pembakaran itu bisa dicegah" (Janes Sinaga-Direktur Eksekutif Perkumpulan Elang).

Saat ini, tutupan hutan yang dimiliki oleh Semenanjung Kampar-Karumutan masih sekitar 600.000 dari total 1300.000. Sisa tutupan hutan tersebut memiliki fungsi yang besar dalam menurunkan emisi karena kondisi hutan yang masih lestari.

Demi mengupayakan agar hutan sebesar 600.000 itu tak tersentuh deforestasi, sejumlah NGO lokal seperti Perkumpulan Elang bersinergi dengan pemerintah daerah setempat memasukkan program restorasi dan pemulihannya ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Pelalawan 2021-2026.

Harapan kedepan, program restorasi menjaga ekosistem Semenanjung Kampar-Karumutan sehingga potensi penyerapan karbon melalui hutan bisa tercapai. Meski begitu, tantangan yang dihadapi adalah aksi ilegal logging dan alih fungsi hutan menjadi kebun sawit oleh perusahaan maupun masyarakat.

Dokumentasi Pribadi

Perjalanan ke Taman Nasional Danau Zamrud membuka mata saya bahwa ketergantungan keanekaragaman hayati serta masyarakat terhadap hutan masih sangatlah kuat. Hutan gambut yang masih utuh, bebas dari sampah serta air yang tidak tercemar menyediakan sumber pangan tak terbatas.

Pantaslah bila udang rawa, ikan toman, ikan tapah, kelelawar, hingga berbagai jenis burung bisa dengan mudah kami temui. Sebab, lingkungan Taman Nasional Zamrud ini masihlah lestari. Bayangkan bila suatu hari, kserakahan manusia membuat itu terkikis, maka kutipan Eric Weiner---mungkin saja---akan menjadi kenyataan.

Tentu kita tak mau jika 100 tahun yang akan datang, anak-anak muda tak lagi tahu bahwa Indonesia memiliki Danau Gambut terbesar ke-2 dan hutan tropis terbesar ke-3 karena rusaknya ekosistem oleh aktivitas manusia. Itu menyedihkan, Teman!

Dokumentasi pribadi

Melalui pendekatan FOLU Net Sink 2030 diharapkan mampu menjadi solusi serta mitigasi perubahan iklim yang berasal dari sektor kehutanan dan lahan. Dengan demikian, dua keuntungan bisa didapatkan sekaligus, yakni iklim yang membaik dan hutan yang bebas deforestasi. 

Lalu, Bagaimana dengan Peran Swasta? 

Tak bisa dipungkiri bahwa dalam mencari solusi untuk mengatasi iklim melalui pendekatan FOLU Net Sink 2030, diperlukan sinergitas yang kuat, termasuk dari pihak swasta. 

Pada 20 Maret 2023 di Jakarta, koalisi serumpun yang terdiri dari Perkumpulan Elang dan Manka serta NGO pejuang lingkungan mengadakan FGD bersama pihak swasta.

(Dokumentasi Perkumpulan Elang)

Seperti apapun, pihak swasta punya andil penting dalam mengimplementasikan langkah-langkah konkret pemulihan iklim melalui fungsi hutan dan lahan di Riau. 

Ada sekitar 8 perusahaan swasta yang hadir dalam FGD bertajuk "Restorasi dan Pemulihan Ekosistem Semenanjung Kampar-Kerumutan dengan Pendekatan Folu Net Sink 2030 sebagai Solusi Iklim Riau untuk Global" hari itu. 

Demi memperkuat diskusi, FGD juga dihadiri oleh pemerintah Kabupaten Siak, pemerintah Kabupaten Pelalawan, APHI, Kadin dan Kedutaan Norway. Beberapa poin penting yang disepakati antara swasta, pemerintah dan LSM yang hadir kala itu yakni, 

  1. Pengembangan platform untuk pencatatan pengurangan emisi tingkat landskap
  2. Pengembangan dan perumusan kelembagaan tingkat landskap
  3. Penyampaian progress inisiatif tersebut dalam COP 28 di Dubai

Demikianlah beberapa pembahasan yang tengah diupayakan agar kolaborasi pemulihan iklim bisa tercipta. Tentunya, semua sektor harus bekerjasama secara nyata dan berkelanjutan. Sebab, hutan di Riau tak akan bisa terselamatkan andai tak ada langkah-langkah serius untuk menjaganya. 

Harapan kedepan, FOLU Net Sink 2030 bisa jadi upaya nyata untuk mencegah perubahan iklim serta menjaga eksistensi keanekaragaman hayati dari Indonesia untuk dunia. Dengan demikian, dukungan kita sebagai masyarakat sangat dibutuhkan demi bumi yang lebih baik.

2 komentar:

  1. Ternyata FOLU Net Sink memberikan dampak positif ke banyak hal seperti pelestarian hutan gambut dan juga menjaga keanekaragaman hayati😍

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul banget kak. FOLU Net Sink ini emang lagi diupayakan banyak pihak sih terkai perhutanan dan lahan.

      Hapus

Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam