Tungku di dalam rumah |
Aroma Rindu yang Tak Pernah Hilang - Apa yang kamu pikirkan tiap menyesap aroma dapur tradisional dengan perapian tungku? Rindu? Baiklah, sama. Jawaban saya juga itu.
Sudah bertahun lamanya saya tak menghirup aroma sangit bercampur asap. Aroma khas dari dapur yang menggunakan kayu sebagai bahan bakarnya.
Masih terngiang rasanya, 10 tahun lalu ketika emak tak memiliki bahan bakar yang mumpuni untuk memasak. Kami sekeluarga mengandalkan kayu bakar seharga Rp 2000 per ikat di warung sebelah.
Kala itu, harga satu kilo beras masih Rp 7000. Meski demikian, harga tersebut cukup mahal untuk kami keluarga dengan pendapatan di bawah rata-rata.
Ya, saya dan keluarga hidup sederhana, sampai sekarang juga demikian. Bedanya, kami telah memanfaatkan gas sebagai bahan bakar utama. Namun bila gas habis dan terjadi kelangkaan, kami menggunakan kayu-kayu di sekitaran rumah.
Setiap kali menghirup aroma tungku dan kayu bakar, saya ingat kembali momen memasak sembari hujan. Hujan membuat dapur kami tergenang.
Saat itu, kami semua belum makan. Kami menunggu banjir menyusut terlebih dahulu. Dengan begitu, ibu bisa memasak lebih leluasa karena api tak mati oleh genangan air.
Masih ingat yang kami makan kala itu tempe goreng, sambal kecap dan nasi hangat. Sederhana namun begitu lezat karena rasa lapar yang mendera.
Saat ini, ketika gas-gas sudah menjadi bahan bakar setia untuk memasak, apakah kalian masih menggunakan tungku?
Jika tidak, cobalah sesekali menggunakannya. Tungku-tungku yang menyala itu benar-benar menguarkan aroma masa lampau. Mungkin, jika kalian tak pernah menggunakan tungku, kalian tak akan merasakannya.
Hasil bakaran kayu yang telah menjadi abu |
Pernah, ketika SMP dulu, aku diajak ke rumah seorang kawan. Rumahnya menggunakan geribik. Lantainya hanya beralaskan tanah.
Di sudut rumah temanku, terlihat seorang perempuan tua yang masih aktif. Dia mulai memasak nasi dan sayur lodeh sederhana.
"Nak, ajak temanmu makan. Maaf ya Nak, cuma bisa memberi temanmu ini sayur sederhana dengan lauk tempe goreng" wanita tua itu meminta maaf padaku.
Aku cukup kaget. Bagiku kalimat itu seolah menandakan ketidakenakan karena hanya bisa memberi makanan sederhana.
Padahal bagiku, lauk dan nasi tersebut lebih dari cukup. Rasanya sangat lezat. Dan lagi, melalui dapur itu, aku menghirup aroma sangit yang menenangkan.
Sudah beberapa kali aku menemukan dapur-dapur tradisional menggunakan tungku sebagai kompor, tentu saja berbahan bakar kayu. Tapi memang tak sebanyak dulu.
Rata-rata dapur saat ini telah menggunakan gas bukan lagi kompor tungku. Wajar memang, zaman sudah berubah. Menggunakan kompor tungku juga harus siap dengan angus-angus uang menempel di panci atau wajan.
Seandainya aku memiliki rumah nantinya, aku ingin menggunakan dua kompor sekaligus, kompor berbahan bakar gas dan kompor berbahan bakar kayu. Tujuannya, supaya aku bisa merasakan aroma unik dari pembakaran setiap waktu.
Itu dia secuil cerita tentang tungku dan aroma tradisional di dalamnya. Jika kamu memiliki pengalaman rindu pada sesuatu di masa lalu, mari bercerita secara singkat di komentar ya.
Sekian dan salam hangat dari naramutiara.
Thanks for sharing
BalasHapusHalo kak, sama-sama ya. Lagi seneng aja nulis artikel untuk healing alias organik
HapusTerima kasih sudah mampir