Rahmad Maulizar bersama istri dan putrinya (Foto : Instagram Rahmad Maulizar) |
“Perundungan yang dilakukan teman-teman saat SD dan SMP sempat membuat saya tak ingin melanjutkan SMA, namun saya sadar bahwa pendidikan itu penting sehingga saya memutuskan tetap bersekolah”
Bagi sebagian besar orang yang diberikan anugerah berupa kesempurnaan fisik, senyuman bukanlah hal yang sulit. Namun, bagi mereka yang memiliki kelainan kongenital berupa bibir sumbing, senyuman adalah harga yang mahal.
Bibir sumbing sendiri merupakan kelainan bawaan yang ditandai adanya celah pada bibir, entah bagian kanan, kiri maupun atas pada bibir. Keberadaan celah tersebut, membuat penderita bibir sumbing mengalami masalah estetik dan fungsional sehingga memerlukan tindakan operasi.
Berdasarkan surat keputusan dari Kementerian Kesehatan tahun 2019, terdapat pembagian jenis sumbing yang kerap terjadi yakni sumbing bibir dan langit-langit (46%), sumbing pada langit-langit (33%), dan sumbing bibir (21%).
Di Indonesia sendiri, kejadian bibir sumbing dan langit-langit terbilang masih cukup tinggi yang mencapai angka 7500 per tahun. Angka tersebut bisa mengalami penurunan apabila penderita melakukan operasi untuk pembenahan bibir atau lelangit.
Permasalahannya, biaya untuk sekali melakukan operasi pembenahan bibir sumbing atau langit-langit mulut ternyata tak murah yakni mencapai Rp 5 juta-Rp 40 juta bergantung tingkat kesulitan dan jenis sumbing.
Melihat biaya tersebut, tak heran bila operasi bibir sumbing masih belum masif dilakukan, terutama untuk masyarakat akar rumput di wilayah pedalaman yang menganggap bahwa bibir sumbing sebagai aib atau kutukan.
Selain itu, kurangnya literasi bahwa bibir sumbing dapat diperbaiki serta minimnya akses informasi mengenai operasi gratis, membuat masyarakat memilih membiarkan anak-anak mereka menjadi penyintas hingga dewasa bahkan usia tua.
Padahal menjadi penyintas bibir sumbing tidaklah mudah. Penderita akan dihantui rasa minder karena fisik yang tak sempurna. Keminderan itulah yang kemudian membuat senyuman terasa mahal bagi mereka yang terlahir dengan bibir sumbing.
Dedikasi Seorang Lelaki Meulaboh Bernama Rahmad Maulizar
Seorang bocah laki-laki terlihat menyendiri di dalam kelas. Ia terdiam namun sorot matanya menatap tegas ke segala arah. Sambil menyimpan ketapel, pasir dan beberapa batu di sakunya, bocah itu telah bersiap melawan siapa saja yang akan mengejek karena kondisi bibirnya yang tak sempurna.
***
Bocah penderita bibir sumbing di masa lalu itu bernama Rahmad Maulizar. Lelaki sederhana kelahiran Meulaboh, 20 September 1993 itu pernah bergulat selama 18 tahun dengan rasa minder tatkala penampilannya yang spesial.
Rahmad mengalami sumbing bukan hanya di bagian bibir saja, tetapi juga langit-langit dan bagian bawah hidungnya. Dengan kondisi semacam itu, ia sering mendapat ledekan dari teman-temannya saat menginjak usia SD dan SMP.
Pembulian paling menyakitkan batin ketika teman-temannya menirukan suara Rahmad yang sengau dengan ekspresi penuh ejek. Baginya, momen itu cukup mengecilkan rasa percaya diri. Terlebih, ejekan juga datang dari anak-anak di lingkungan tempat ia tinggal.
“Penderita bibir sumbing itu tak jauh dari buli, cemooh dari teman-teman. Pada saat memasuki usia dewasa, kita dijadikan bahan untuk ejekan sehingga sering merasa minder dan tak percaya diri”
Pada beberapa waktu, Rahmad kerap merasa sedih dengan kondisi bibir sumbing yang dialaminya. Pertanyaan demi pertanyaan kepada Tuhan kerap muncul di benaknya ketika ia kehilangan harapan. Namun berkat dukungan orang tua, terutama ibunya membuat Rahmad selalu bangkit, kuat, dan bersemangat.
Tahun 2007, Rahmad secara tak sengaja membaca informasi di koran perihal operasi bibir sumbing gratis dari sebuah yayasan internasional. Tak mau melewatkan kesempatan tersebut, ia dan ibunya berangkat ke Banda Aceh menggunakan sepeda motor.
Perjalanan menuju lokasi tentu tak semulus yang dikira. Pasca terjadinya tsunami Aceh 2004, akses jalanan dari Meulaboh ke Banda Aceh rusak parah. Alhasil, ia mengalami kesulitan sepanjang berkendara. Bahkan, ia harus menaikkan sepeda motornya ke rakit 4 kali, guna mencari akses yang lebih cepat.
Harapan itu bersinar terang. Setelah kesulitan melalui perjalanan selama menuju tempat pendaftaran operasi di Yayasan Smile Train Indonesia, Rahmad pada akhirnya bisa melakukan operasi bibir sumbing secara gratis.
Nah, karena kondisi sumbing yang ia alami cukup kompleks yakni di bagian bibir, langit-langit hingga bawah hidung, Rahmad harus melakukan operasi sebanyak 5 kali selama kurun waktu 2008-2010.
Pada tahun 2011, Rahmad bisa sepenuhnya lega karena memiliki kondisi fisik yang sama seperti orang lain. Bibir sumbing yang kerap menjadikan ia down dan tak percaya diri itu lantas menghilang dari kehidupannya.
Kini, Rahmad semakin percaya diri menghidupkan senyum di wajahnya. Ia mulai menjalani aktivitas harian secara bahagia dan penuh rasa syukur. Rahmad bahkan berhasil menjadi sarjana pada 2018, menikah dengan perempuan pilihannya dan memiliki anak yang cantik.
Dari Penyintas hingga Menjadi Pahlawan Penghidup Senyum
Siapa pun memang bisa jadi pahlawan, termasuk sosok sederhana bernama Rahmad Maulizar. Pernah merasakan getirnya hidup sebagai penyintas bibir sumbing membuat ia gigih membantu orang lain dengan nasib senada.
“Setelah selesai operasi dan mendapat senyum baru yang lebih percaya diri, saya tidak tinggal diam. Tetap membantu teman-teman yang senasib untuk mendapatkan senyum dan harapan baru dengan berkeliling, menyebarkan informasi perihal operasi bibir sumbing gratis”
Demi menebarkan literasi, informasi serta ajakan untuk melakukan operasi bibir sumbing gratis, Rahmad rela berkeliling Aceh berjam-jam selama 2 kali dalam sebulan.
Rahmad Saat mendatangi salah satu keluarga penyintas bibir sumbing (Gambar : Dokumentasi Rahmad) |
Uniknya, kadang ia mendatangi para ibu yang tengah berkumpul untuk mendapatkan informasi mengenai pasien bibir sumbing.
Mengapa ibu-ibu yang tengah berkumpul-kumpul (ngerumpi) menjadi tujuan Rahmad?
Menurutnya, para ibu biasanya memiliki akses informasi terhadap berbagai kejadian di wilayah tempat tinggal mereka. Termasuk informasi menyoal anak-anak atau orang dewasa yang punya kondisi bibir sumbing.
Dan ya, ternyata apa yang dilakukan Rahmad cukup efektif. Dari para ibu itulah ia dengan mudah mampu mengumpulkan data penderita bibir sumbing.
Rahmad tengah berbincang dengan para ibu (Foto : Instagram prbadi Rahmad Maulizar) |
Setelah mendapatkan data, ia lantas segera berkunjung ke rumah para penyintas dan mengajak mereka untuk melakukan operasi bibir sumbing gratis dengan mendaftarkan data diri terlebih dahulu.
Lalu, apakah perjalanannya mengajak operasi bibir sumbing berjalan mulus?
Tentu saja tidak. Menebarkan kebaikan dan manfaat ternyata juga memiliki tantangan. Rahmad menuturkan bahwa selama door to door datang ke rumah warga di pedalaman, ia pernah mendapatkan penolakan yang begitu menyakitkan.
Diusir, disiram air, dianggap penipu hingga dikempeskan ban mobil yang ditumpangi, pernah menjadi catatan hidup bagi Rahmad dalam menjalani aktivitasnya sebagai pekerja sosial.
Anggapan bahwa bibir sumbing merupakan aib dan kutukan juga sempat menyulitkan Rahmad untuk meyakinkan warga. Berbekal pengetahuan yang ia miliki serta tekad kuat untuk menghidupkan senyum orang lain, ia tak menyerah mengajak penyintas bibir sumbing melakukan operasi.
Dan waktu pun menjawab sudah, kegigihan Rahmad akhirnya membuahkan hasil. Dari tahun kurun waktu tahun 2017 hingga 2022, ia berhasil membantu menghidupkan senyum lebih dari 6000 pasien bibir sumbing di Provinsi Aceh.
Salah satu anak dan ibu penyintas bibir sumbing yang terlihat bahagia (Foto : Instagram Rahmad maulizar) |
Di Aceh sendiri, kasus bibir sumbing ada sekitar 2-3 tiap kelahiran. Adapun operasi yang dilakukan oleh Rumah Sakit Malahayati Banda Aceh, dalam seminggu bisa dilakukan 5-7 kali.
Sungguh, melalui dedikasinya, ia layak disebut sebagai pahlawan penghidup senyum bagi anak-anak Aceh. Yeah, he is the real local hero! Semangatnya dalam mendorong anak-anak melakukan operasi perlu diacungi 100 jempol.
Apresiasi Satu Indonesia untuk Rahmad Maulizar
Rahmat adalah figur manusia yang berkeinginan bangkit bukan hanya untuk dirinya tetapi juga untuk orang lain di wilayah Aceh, Indonesia. Menyebarkan informasi serta mendorong para penderita bibir sumbing adalah dedikasi Rahmad untuk menghidupkan masa depan anak-anak Indonesia.
Berkat perjuangannya selama 10 tahun belakangan, ia berhasil mendapatkan penghargaan Satu Indonesia Award dari PT Astra Internasional, Tbk tahun 2021 bidang kesehatan.
Rahmad Maulizar saat menerima apresiasi Satu Indonesia Award dari Astra (Foto : tangkap layar dari Youtube) |
SATU Indonesia Awards merupakan program pemberian apresiasi untuk generasi muda Indonesia yang berprestasi dan mempunyai kontribusi positif untuk masyarakat dalam lima bidang, yaitu Kesehatan, Pendidikan, Lingkungan, Kewirausahaan, dan Teknologi, serta satu kategori kelompok yang mewakili lima bidang tersebut.
Program ini sudah berjalan sejak tahun 2010 lalu sehingga di tahun 2023 ini telah menginjak angka 14. SATU Indonesia Awards tahun ini mengusung tema "Semangat untuk Hari Ini Dan Masa Depan Indonesia".
Rahmad Maulizar adalah salah satu anak bangsa yang berperan positif mendorong orang di sekitarnya untuk bangkit melawan insecuritas karena kondisi bibir hingga langit-langit yang tak sempurna.
Melihat besarnya penderita bibir sumbing tiap tahunnya, yakni sekitar 7500 kasus, maka bisa disimpulkan bahwa problematika kesehatan tersebut masih cukup pelik dirasakan oleh masyarakat. Terlebih untuk kaum akar rumput yang minim literasi maupun informasi perihal kelainan tersebut.
Rahmad berkunjung kerumah bayi berusia 4 bulan di desa Alue one - Aceh Barat (Dokumentasi Rahmad Maulizar) |
Besarnya biaya dan anggapan ribetnya mengurus administrasi saat hendak melakukan operasi, menjadi momok menakutkan bagi keluarga penderita. Tak heran, hal tersebut membuat mereka enggan untuk melapor.
Padahal untuk operasi milik Yayasan Smile Train Indonesia ini benar-benar gratis. Organisasi tersebut berkolaborasi dengan Rumah Sakit Malahayati Banda Aceh dan Rumah Singgah Mahasiswi UGM sehingga pasien tak perlu khawatir soal biaya. Keluarga pasien hanya harus memastikan,
- Fisik yang sehat untuk pasien
- Minimal pasien bayi berusia 3 bulan dengan berat badan 5 kilo untuk operasi bibir sumbing
- Minimal usia bayi 9 bulan dengan berat badan 10 kilogram untuk pasien penderita langit-langit bocor
Sumbangsih Rahmad Maulizar dalam menyebarkan informasi hingga mengajak penyintas bibir sumbing untuk melakukan operasi bukan hal yang bisa disepelekan.
Terlebih, tanpa dibayar, Rahmad mau melewati terjalnya jalan pedesaan, menerjang gelapnya malam hingga pekatnya hutan di wilayah pedalaman Aceh demi membuat lebih banyak anak bangkit dan tersenyum.
Pada titik yang lain, ia berharap, para ibu di Indonesia mampu menjaga kehamilan dengan memakan makanan bergizi, mengurangi tingkat stres, menghindari over konsumsi obat hingga mengurangi aktivitas yang berisiko demi menghindari anak terlahir sumbing.
Sebagai pungkasan, Putra Aceh ini berpesan bahwa bibir sumbing bukanlah aib atau kutukan. Penderitanya perlu mendapat dukungan bukan hanya dari keluarga tetapi juga lingkungan. So, jangan pernah mematahkan semangat para penderita dengan mengolok atau mengintimidasi mereka. Sebab para penyintas bibir sumbing juga memiliki masa depan yang sama cerahnya dengan kita.
Daftar pustaka :
- Booklet SATU Indonesia Awards 2022
- Tayangan youtube “Berita Satu : Pejuang Senyum Anak Aceh”
- Data dari Surat Keputusan Menteri Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/321/2019 mengenai bibir sumbing.
- Foto-foto diambil dari instagram pribadi Rahmad Maulizar
- Jurnal Rekonstruksi dan Estetik : Analisis kejadian sumbing bibir dan langit: Studi deskriptif berdasarkan tinjauan geografis oleh Ulfah Elfiah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam