“Penggunaan biofuel mampu meminimalir terjadinya perubahan iklim. Benarkah demikian?”
Saya masih ingat, ketika masa kanak-kanak, bapak sering membaca majalah pertanian bernama Trubus. Melalui majalah itulah, saya kemudian mengenal istilah bahan bakar alternatif pertama kali.
Pernah mendengar tanaman Jarak? Jarak (Ricinus Communis L) termasuk tanaman liar yang bisa dengan mudah ditemukan di hutan, kebun, persawahan atau rumah-rumah warga. Meski ia termasuk tanaman liar, namun ternyata memiliki manfaat yang cukup besar.
Tanaman Jarak pagar (Sumber gambar : sehatQ) |
Berdasarkan artikel yang pernah saya baca di Trubus kalau itu, tanaman Jarak bisa dimanfaatkan menjadi berbagai produk industri, salah satunya sebagai sumber energi alternatif melalui olahan bijinya. Keren bukan?
Menilik kembali ingatan saya pada tanaman Jarak dan manfaatnya, bisa jadi tanaman tersebut bakal dibudidayakan untuk kepentingan industri energi alternatif di masa depan. Mengapa perlu energi alternatif?
Well, hampir semua orang paham bahwa energi fosil tidaklah abadi. Ya, energi ini akan habis dalam waktu dekat. Padahal, dunia membutuhkan energi fosil untuk kepentingan industri, menggerakkan kapal nelayan, kegiatan transportasi, memasak dan lain sebagainya.
Bila energi fosil kemudian habis, maka ada aktivitas yang terancam lumpuh hingga mati sehingga diperlukan inovasi pengembangan energi alternatif yang mampu menggantikan peran energi fosil.
Baca juga : Bicara Karhutla dan Pandemi. Bagaimana Bila Keduanya Berkaitan?
Menurut artikel pada kumparan yang juga menyuplik laman MAHB Stanford, terdapat penelitian bahwa minyak akan habis di tahun 2052, gas akan habis di tahun 2060 dan Batubara akan habis pada tahun 2090.
Tentu perkiraan waktu di atas tidaklah lama. Kita telah menuju waktu dimana setiap energi fosil akan habis. Energi dari minyak misalnya, kalau di kalkulasi, berarti kurang 31 tahun lagi akan hilang. Panik gak? Panik gak? Ya, panik lah, masa enggak!
Coba deh, andaikata kita belum memiliki energi pengganti BBM, tetapi pada waktu tersebut ternyata sudah habis, pastinya aktivitas rumah tangga hingga level industri akan kacau. Apalagi kita tahu bahwa BBM sangat penting untuk menunjang aktivitas di segala sektor.
Mengenal Biofuel, Alternatif Energi yang bisa diusahakan
Beberapa waktu lalu, saya dan kawan-kawan Eco Blogger Squad berkesempatan untuk mengikuti gathering online dengan tema “Mengenal lebih jauh tentang Biofuel”.
Gathering tersebut mengundang Kukuh Sembodho (Program Asisten Biofuel Yayasan Madani) dan Ricky Amukti (Engagement Manager di Traction Energy Asia) sebagai narasumber yang membagikan informasi perihal biofuel dan perkembangannya.
Ternyata biofuel tengah diusahakan produksinya sebagai energi alternatif pengganti energi fosil lho. By the way, sudah pernah dengar mengenai biofuel?
Biofuel merupakan bahan bakar yang berasal dari bahan-bahan nabati dan/atau dihasilkan dari bahan-bahan lain yang ditataniagakan sebagai Bahan Bakar Lain (Permen ESDM 25 Tahun 2013).
Biofuel terbagi menjadi beberapa jenis yakni bioetanol, biodiesel dan biogas. Nah, supaya enggak bingung, maka saya jelaskan dulu masing-masing dari tiap jenis.
- Bioetanol : Etanol berarti alkohol ya? Yap, benar sekali. Bioetanol merupakan alkohol yang berasal dari tumbuh-tumbuhan seperti gandum, tebu, buah-buahan hingga limbah sayuran. Namanya juga etanol, untuk membuatnya, tentu harus melalui proses bernama fermentasi. Ternyata, bila bioetanol ini dicampurkan dengan bensin dengan takaran tertentu, ia mampu berfungsi sebagai bahan bakar.
- Biodiesel : biodiesel merupakan sumber energi yang berasal dari minyak-minyak nabati seperti minyak tanaman jarak, kedelai, sawit, hingga bunga matahari. Tentu, masih banyak tanaman-tanaman lain yang berpotensi sebagai bahan baku biodiesel ini.
- Biogas : Energi yang berasal dari proses fermentasi kotoran baik hewan atau manusia. Melalui proses tertentu, biogas ini mengeluarkan gas yang bisa dimanfaatkan untuk kegiatan rumah tangga dan industri skala kecil.
Saya pernah menyaksikan di televisi mengenai penggunaan biogas sebagai bahan bakar di sebuah rumah. Jadi, si pemilik rumah memang memiliki peternakan sapi yang mana kotorannya dimanfaatkan menjadi biogas.
Bagi pemilik rumah, membuat biogas memang membutuhkan biaya yang tak sedikit pada awalnya, sebab, ia perlu membuat selang-selang dan lokasi pengumpulan kotoran hewan terlebih dahulu. Namun, setelah jadi, biogas bisa dimanfaatkan untuk kegiatan memasak si pemilik rumah.
Sama seperti biogas, saat Indonesia hendak mengoptimalkan biofuel lainnya, pastinya membutuhkan biaya dan upaya yang tak instan. Dengan demikian, perlu adanya kolaborasi yang rekat antara pemerintah dan masyarakat.
Berdasar informasi yang dibagikan pada gathering EBS lalu, Indonesia sudah mengeluarkan kebijakan BBN (Bahan Bakar Nabati) Nasional sebagai berikut,
Itu artinya, pengembangan bahan bakar alternatif pengganti energi fosil memang tengah diupayakan oleh banyak pihak meskipun jumlahnya belum setara dengan produksi bahan bakar fosil.
Apakah produksi Biofuel Ramah terhadap Alam?
Keberadaan biofuel memang sangat menjanjikan bagi sektor energi kedepannya. Apalagi Indonesia termasuk negara kaya akan tanaman-tanaman penghasil biofuel.
Meski demikian, pada sisi yang lain, pengembangan biofuel ini juga memunculkan pertanyaan yang cukup menohok. Bila produksi biofuel dibuat secara masal, berapa banyak lahan yang dibutuhkan untuk menanam?
Berikut ini merupakan gambaran jumlah lahan yang dibutuhkan supaya produksi biofuel mampu direalisasikan.
Bila dilihat pada hasil pemaparan di atas, kita bisa mengulik bahwa demi memenuhi kepentingan produksi bahan bakar jenis B30-B50, dibutuhkan lahan baru untuk perkebunan sawit seluas 20,4-22,8 juta Ha.
Padahal, kita tahu bahwa sawit masih menjadi isu panas karena menimbulkan deforestasi. Meski begitu, pada sisi yang lain, sawit memiliki manfaat luar biasa dan merupakan primadona bagi pendapatan negeri ini. Dilema kan rasanya?
Pada gathering EBS lalu, Mas Kukuh dan Mas Ricky menegaskan bahwa sebenarnya sawit tidaklah salah. Yang salah adalah oknum-oknum yang menanam sawit dengan cara yang salah dengan tidak mengindahkan aturan mengenai pengelolaan lingkungan berkelanjutan.
Lalu, bagaimana supaya produksi biofuel tak merusak alam dan hutan?
Kita sudah memiliki perkebunan sawit yang cukup luas untuk menunjang perekonomian dan produksi biofuel. Nah, agar dalam proses pembuatan biofuel tak ada lagi deforestasi, maka kita tak boleh melakukan pembukaan lahan lagi demi menanam lahan sawit. Namun kita manfaatkan perkebunan yang telah ada dan dioptimalkan untuk segala keperluan.
Tak hanya itu, dengan memanfaatkan bahan-bahan yang sudah ada. Kita pun bisa menghemat penggunaan lahan. Misalnya dengan memanfaatkan minyak jelantah yang sudah tak terpakai. Daripada mubazir dibuang dan mencemari lingkungan, mending didaur ulang.
Jangan buang minyak Jelantahmu. Ada Manfaatnya, Lho!
Minyak jelantah merupakan minyak sisa yang berasal dari jenis-jenis minyak goreng seperti minyak jagung, minyak sayur, minyak samin dan sebagainya. Minyak ini merupakan minyak bekas pemakaian rumah tangga.
Beberapa penelitian mengatakan bahwa minyak jelantah tidak baik digunakan lagi untuk memasak dan menggoreng karena mengandung senyawa karsinogenik. Bukan hanya itu saja, minyak jelantah juga tak bisa dibuang sembarangan ke tanah, sungai, atau saluran air.
Jelantah yang dibuang sembarang bisa membuat penyumbatan pada saluran air atau pipa-pipa pembuangan. Efeknya, saluran pembuangan jadi tak lancar bukan?
Layaknya membuang limbah berbahaya, perlu adanya pengelolaan lebih lanjut agar jelantah tak mencemari lingkungan. Nah, bagusnya, pada gathering EBS lalu, Mas Ricky dari Traction Energy memaparkan bahwa jelantah ternyata bisa lho diolah kembali menjadi biofuel.
Berdasarkan infografis di atas, terlihat bahwa konsumsi minyak goreng di Indonesia terbilang tinggi yakni mencapai angka 16,2 juta kilo liter dengan hasil jelantah sebanyak 3 juta kilo liter. Bila limbah minyak goreng ini lebih banyak dibuang percuma, tentu kondisi tersebut sangat disayangkan mengingat jelantah masih berpotensi didaur ulang menjadi biodiesel.
Beberapa masyarakat di Indonesia sudah banyak yang inisiatif mengubah jelantah menjadi berbagai produk sepeti sabun hingga lilin aroma terapi. Bahkan, ketika kuliah, banyak sekali mahasiswa yang membuat PKM (Program Kreativitas Mahasiswa) bertema pemanfaatan jelantah.
Baca Juga : Mencegah Perubahan Iklim dengan Kendaraan Ramah Lingkungan? Yuk Lakukan!
Memang, untuk mengubah jelantah menjadi berbagai produk termasuk biofuel memerlukan teknik dan peralatan khusus. Namun, bila industri pengolahannya dioptimalkan serta didukung penuh, aku yakin tak ada lagi jelantah-jelantah yang terbuang sia-sia.
Aku berharap, kedepannya, pemerintah dan masyarakat bisa bersinergi membuat sebuah industri yang mengusahakan pengolahan minyak-minyak bekas pakai (Jelantah) agar tak terbuang percuma sekaligus bermanfaat untuk sumber energi. Semoga saja.
Jika minyak akan habis di tahun 2052 maka seharusnya saat ini kita sudah punya sumber2 energi alternatif yang memadai ya.
BalasHapusBtw, saya mengenal anak muda founder biofuel dariminyak jelantah di Sulsel, pernah bbrp kali menghadiri presentasinya. Konsumen dia kebanyakan nelayan, untuk bahan bakar kapal nelayan.
Mpo di rumah sudah mengumpulkan minyak jelantah. Lumayan bisa di jual.
BalasHapusAllah ya luar biasanya menciptakan semua yang ada nggak ada yang sia - sia, tinggal manusianya kreatif mengolah. Baru tahu tentang biofuel nih. Aku kalau pakai minyak cukup aja jadi jarang juga simpan jelantah. Tapi komplek ku selalu ada pengumpulan jelantah lho
BalasHapusSudah tau biofuel dan pemanfaatan pohon jarak dr lama, smoga pemanfaatan pohon jarak ini bisa dlakukan skala besar dg cepat sblum sumber2 energi dr fosil habis
BalasHapusTernyata ada banyak sekali hal-hal sederhana yang harus kita dawamkan untuk melakukannya.
BalasHapusLangkah kecil yang membuat kita bisa melestarikan lingkungan sedikit demi sedikit. Semoga hasilnya bisa dirasakan oleh keturunan-keturunan kita kelak.
Ternyata ada banyak sekali hal-hal sederhana yang harus kita dawamkan untuk melakukannya.
BalasHapusLangkah kecil yang membuat kita bisa melestarikan lingkungan sedikit demi sedikit. Semoga hasilnya bisa dirasakan oleh keturunan-keturunan kita kelak.
Memanfaatkan ciptaan Allah dgn sebaiknya tapi jangan lupa untuk memberikan kembali kepada alam dgn menanam kembali
BalasHapus