Beberapa waktu lalu, saya mengikuti ngobrol virtual mengenai Pelarangan Iklan Rokok di Indonesia pada channel youtube Fakta.id. Para narasumber yang diundang adalah Tubagus Haryo Karbyanto (Tobacco Control Advocate) dan Rommy Fibri Hardiyanto (Ketua Lembaga Sensor Film RI).
Iklan rokok masih menjadi polemik di masyarakat. Beberapa pihak pro dengan rencana kebijakan menghentikan tayangan iklan rokok di berbagai media publik, tapi banyak juga pihak yang menolak apabila iklan rokok dihentikan dengan berbagai alasan.
Rokok merupakan produk yang mengandung zat adiktif layaknya alkohol. Meski demikian, iklan rokok masih saja bisa ditemukan oleh masyarakat melalui media televisi, bioskop, film, baliho bahkan media sosial. Padahal, media-media tersebut sangat mungkin dilihat oleh anak-anak.
Dengan adanya polemik tersebut, banyak pihak mempertanyakan alasan iklan rokok masih tayang di televisi serta media sosial yang notabene bisa diakses semua usia termasuk anak-anak. Diketahui, rokok termasuk produk yang berbahaya bagi kesehatan masyarakat. Sudah tahu kan sebatang rokok mengandung apa saja?
Sebelum mengulik lebih lanjut mengenai iklan rokok, masyarakat perlu memahami dahulu terminologi iklan. Menurut Bapak Tubagus Haryo Karbyanto, iklan merupakan segala bentuk komunikasi komersial dari sebuah industri untuk memasarkan, membujuk, mempengaruhi audiens agar membeli produk mereka.
Permasalahannya, rokok merupakan produk adiktif. Di Indonesia, bagaimana mungkin produk adiktif masih diiklankan, padahal itu berbahaya. Harusnya ada bagian yang mampu menghentikan promosi rokok melalui televisi atau media sosial demi menghindari generasi muda mengenal rokok.
Industri rokok begitu halus menyasar generasi muda untuk membeli produk mereka. Bayangkan saja, setiap waktu, prevalensi jumlah prokok di bawah umur kian bertambah karena berbagai faktor. Salah satunya ajakan melalui iklan-iklan di media televisi atau media sosial.
Sejak tahun 1998 melalui WHO, permasalahan rokok dan tembakau memang menjadi pembahasan global. Salah satu cara menghindari dampak rokok adalah menghentikan iklan rokok. Di beberapa negara, promosi rokok melalui iklan-iklan di televisi atau media sosial sudah dihentikan.
Tujuannya? Supaya anak-anak dibawah umur tak mampu membeli rokok secara sembarangan. Seperti contoh di Negara Jepang. Disana, ada kotak khusus yang menjual rokok dengan sensor yang bisa melihat usia pembeli. Iklan rokok disana pun benar-benar diperketat penayangannya agar tak sembarang dilihat anak-anak. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?
Bicara iklan rokok, Indonesia sebenarnya memiliki regulasi berupa UU Penyiaran. Di dalam salah satu pasal, secara garis besar menyebutkan bahwa iklan rokok boleh disiarkan di media televisi, radio atau media cetak. Memang, belum ada larangan secara tegas terhadap penayangan iklan karena berbagai pertimbangan.
Meskipun demikian, ada beberapa daerah yang telah berani membuat aturan agar iklan rokok tak termuat di billboard atau baliho-baliho yang terpampang di pinggir-pinggir jalan (media luar ruang). Menurut Tubagus, sekecil apapun iklan meski hanya meletakkan bungkus rokok, itu sebentuk promosi terhadap produk tersebut.
Demi mengetahui lebih banyak memgenai tata cara menyiarkan iklan-iklan rokok, diundanglah Ketua Lembaga Sensor Film (LSF), Romi Fibri. LSF merupakan lembaga yang memiliki kewenangan untuk menyensor film dan iklan. Nah, dalam regulasi penyiaran sebenarnya tidak disebut secara jelas mengenai pembatasan iklan rokok.
LSF hanya mengadaptasi aturan Komisi Penyiaran Indonesia melalui Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran yang mengatakan tidak boleh menampakkan batang rokok sehingga LSF akan menyensor bagian-bagian iklan atau film yang tak sesuai etika sosial atau mengandung unsur memperlihatkan rokok secara vulgar.
Menurut Pak Romi, andaikata iklan rokok dihentikan penayangannya di setiap media pun, semua orang tetap akan tahu keberadaan rokok layaknya minuman beralkohol. Ibaratnya gini, minuman beralkohol kan tidak pernah diiklankan, tetapi tetap saja banyak masyarakat yang membelinya. Jika demikian, maka ada atau tidaknya iklan, bukan faktor utama penyebab angka perokok naik.
Apabila ditilik melalui kacamata sosial dan budaya, sebenarnya kebiasaan merokok juga turunan dari keluarga terdekat hingga lingkungan pergaulan. Keluarga bukan perokok tidak menjamin bahwa anaknya juga tak merokok. Masih ada pengaruh dari teman-teman sekolah yang membuat anak mengenal rokok.
Iklan rokok di pertelevisian Indonesia selama ini tak pernah memunculkan ajakan secara langsung untuk merokok. Dengan demikian, LSF tak berhak untuk melarang penayangannya karena secara regulasi memang belum tertulis ada pelarangan.
Pak Romi menambahkan bahwa kita mungkin tak bisa menghentikan promosi rokok oleh industri rokok. Namun kita bisa lebih mengkampayekan ajakan untuk merokok pada tempatnya dengan menguatkan Kawasan Tanpa Rokok (KTR).
Iklan rokok memang menjadi salah satu sumber yang memperkenalkan rokok kepada generasi muda. Namun demikian, kita juga tak bisa menafikkan faktor sosial dan budaya yang ada di masyarakat.
Menyoal iklan, LSF dan pihak-pihak terkait tetap berusaha untuk mencegah tayangan iklan rokok secara vulgar dengan melakukan sensor atau memberi teguran, tetapi soal menghentikan, itu membutuhkan kajian dari berbagai sisi. Demikianlah poin-poin dari ngobrol virtual bareng Astina 5 di channel Fakta id. Semoga bermanfaat!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam