Sumber gambar : Tribun news |
"Apapun yang terjadi aku harus menang, Ayah pasti akan melihatku bertanding di arena nanti"
Itulah sepenggal kalimat yang kurang lebih diucapkan oleh Boruto---putra Naruto Uzumaki---salah satu tokoh di animasi Jepang karya Masashi Kishimoto. Ada wajah-wajah sumringah yang tersirat ketika Boruto mengicapkan kalimat itu pada dirinya sendiri. Ia yakin bahwa itu merupakan cara satu-satunya untuk membuat ayahnya mengakui kehadiran dia.
Ya, apapun yang terjadi, ia harus menang dalam ujian Chunin (ujian level dalam ninja) yang akan digelar di negaranya, Konohagakure. Boruto tak mau mengecewakan ayahnya yang seorang hokage. Ada sebuah ambisi serius dalam hatinya untuk memenangi tiap tantangan yang diberikan oleh para penguji. Punya ambisi untuk menang. Bukankah itu bagus?
Ya, harusnya begitu. Namun sayangnya, Boruto melakukannya bukan dengan cara yang benar. Pada ujian Chunin babak kedua, ia menang dengan cara yang curang. Ia yang seharusnya menggunakan kekuatan sendiri saat menjaga bendera milik timnya, justru menggunakan kekuatan alat sains ninja yang bisa mengeluarkan segala jurus hebat. Imbasnya? Lawan Boruto menjadi kalah telak.
Ya, apapun yang terjadi, ia harus menang dalam ujian Chunin (ujian level dalam ninja) yang akan digelar di negaranya, Konohagakure. Boruto tak mau mengecewakan ayahnya yang seorang hokage. Ada sebuah ambisi serius dalam hatinya untuk memenangi tiap tantangan yang diberikan oleh para penguji. Punya ambisi untuk menang. Bukankah itu bagus?
Ya, harusnya begitu. Namun sayangnya, Boruto melakukannya bukan dengan cara yang benar. Pada ujian Chunin babak kedua, ia menang dengan cara yang curang. Ia yang seharusnya menggunakan kekuatan sendiri saat menjaga bendera milik timnya, justru menggunakan kekuatan alat sains ninja yang bisa mengeluarkan segala jurus hebat. Imbasnya? Lawan Boruto menjadi kalah telak.
Kekuatan yang dihasilkan dari alat ninja yang diberikan kepada Boruto ternyata memiliki fungsi yang luar biasa. Itu bisa menghasilkan jurus-jurus yang tak dimiliki oleh tiap ninja. Seharusnya pada ujian chunin kala itu ia dan timnya kalah. Namun karena bantuan alat ninja, Boruto berhasil menggondol kesempatan bertanding ke babak selanjutnya.
Skip. Tibalah ujian babak terakhir dimana tiap individu harus bertarung menggunakan ninjutsu yang peserta miliki (kekuatan para ninja menggunakan cakra dari tubuh). FYI, para peserta ujian Chunin ini dari berbagai negara.
Awal-awal bertarung, Boruto masih menggunakan kekuatan alami dalam dirinya. Tetapi saat merasa tersudut oleh lawan, ia mulai menggunakan kembali alat ninja yang dipasang di pergelangan tangan kanannya. Zippp, hanya dengan 1 bendel kecil jutsu buatan, Boruto telah berhasil memunculkan beragam jurus untuk mengalahkan rivalnya.
Awalnya tak ada yang menaruh curiga dengan apa yang Boruto lakukan. Tetapi, sesaat setelah dia bertarung dengan Shinki (salah satu ninja dari Negara Sunagakure), mulailah terkuak kekuatan yang ia munculkan di arena. Ya, Boruto mengeluarkan jurus bernama 'Shiden' yang hanya bisa dilakukan oleh Hokage sebelumnya, Kakashi Hatake. Kontan itu memunculkan sebuah kemungkinan bahwa Boruto melakukan kecurangan.
Celakanya, justru Sang Ayah, Naruto Uzumaki sendiri yang menemukan putranya memakai alat sains ninja. Ya, alih-alih ingin membuat Naruto kagum dengan kemenangan yang ia peroleh, Boruto justru menghancurkan dirinya sendiri dan melunturkan kepercayaan ayahnya. Mengapa Boruto bisa bertindak dekikian?
1. Dia adalah cerminan anak yang kurang mendapat perhatian dari Ayahnya. Sebagai Hokage, Naruto bekerja begitu keras hingga jarang meluangkan waktu untuk berbincang atau sekadar latihan ninja ringan.
2. Boruto merupakan anak yang selalu diremehkan oleh ayahnya sendiri melalui anggapan "masih anak kecil" sehingga jiwa memberontaknya muncul tatkala ia menyadari bahwa ia juga bisa bertindak sehebat orang dewasa.
3. (Mungkin) Pelajaran tentang menerima kekalahan belum ia dapat dari orang disekitarnya. Wajar sebenarnya, ia masih berusia sangat muda sehingga kenaifan yang ia miliki masih tinggi. Selain itu, geram akibat ayahnya yang seolah tak mengakuinya menjadikan ia gelap mata. Asal bisa menuai pujian Sang Ayah, apapun bisa dilakukan.
4. Stereotip oranglain sebagai anak Hokage yang dianggap manja dan hanya mengandalkan orangtua. Ya, itu tercermin dari dialog beberapa tokoh yang menciutkan sosok Boruto hanya karena ia putra seorang hokage.
Awal-awal bertarung, Boruto masih menggunakan kekuatan alami dalam dirinya. Tetapi saat merasa tersudut oleh lawan, ia mulai menggunakan kembali alat ninja yang dipasang di pergelangan tangan kanannya. Zippp, hanya dengan 1 bendel kecil jutsu buatan, Boruto telah berhasil memunculkan beragam jurus untuk mengalahkan rivalnya.
Awalnya tak ada yang menaruh curiga dengan apa yang Boruto lakukan. Tetapi, sesaat setelah dia bertarung dengan Shinki (salah satu ninja dari Negara Sunagakure), mulailah terkuak kekuatan yang ia munculkan di arena. Ya, Boruto mengeluarkan jurus bernama 'Shiden' yang hanya bisa dilakukan oleh Hokage sebelumnya, Kakashi Hatake. Kontan itu memunculkan sebuah kemungkinan bahwa Boruto melakukan kecurangan.
Sumber Foto : Youtube |
1. Dia adalah cerminan anak yang kurang mendapat perhatian dari Ayahnya. Sebagai Hokage, Naruto bekerja begitu keras hingga jarang meluangkan waktu untuk berbincang atau sekadar latihan ninja ringan.
2. Boruto merupakan anak yang selalu diremehkan oleh ayahnya sendiri melalui anggapan "masih anak kecil" sehingga jiwa memberontaknya muncul tatkala ia menyadari bahwa ia juga bisa bertindak sehebat orang dewasa.
3. (Mungkin) Pelajaran tentang menerima kekalahan belum ia dapat dari orang disekitarnya. Wajar sebenarnya, ia masih berusia sangat muda sehingga kenaifan yang ia miliki masih tinggi. Selain itu, geram akibat ayahnya yang seolah tak mengakuinya menjadikan ia gelap mata. Asal bisa menuai pujian Sang Ayah, apapun bisa dilakukan.
4. Stereotip oranglain sebagai anak Hokage yang dianggap manja dan hanya mengandalkan orangtua. Ya, itu tercermin dari dialog beberapa tokoh yang menciutkan sosok Boruto hanya karena ia putra seorang hokage.
Kisah Boruto sebenarnya tak sekadar cerita fiktif untuk menghibur para penggemarnya yang rindu kehadiran serial Naruto yang beberapa waktu lalu berakhir. Lebih dari itu, ia menelurkan pesan-pesan yang cukup baik. Bahwa kemenangan itu bukan segalanya. Untuk apa menang tapi menghalalkan segala cara. Bertindak curang tanpa memikirkan perasaan mereka yang berjuang dengan cara-cara yang benar.
Apakah anak-anak yang bertindak seperti Boruto itu ada di dunia nyata? Ya, aku yakin ada. Meski berbeda sketsa, tapi kisah-kisah itu bukanlah isapan jempol. Anak-anak yang memilih curang untuk memdapatkan kemenangan nyatanya ada disekitar kita. Taruhlah saat menghadapi Ujian Nasional. Berapa anak yang benar-benar menggunakan pikiran mereka sendiri untuk menggores jawaban di lembar ujian?
Ujian di sekolah kita lebih menekankan pada hasil akhir berupa angka. Tak heran jika beberapa anak akan menghalalkan segala cara agar angka yang semula kecil bisa menjadi besar. Baiklah, jika mereka menggunakan kemampuan mereka, itu bagus. Tapi, bagaimana jika mereka mencontek?
Dalam anime, Boruto tak bisa jujur terhadap diri dan teman-temannya. Ia malah terjebak dalam kebahagiaan semu yang ditawarkan oleh alat ninja yang dipakainya. Niat hati membuat ayahnya bangga justru membuat Sang Ayah kecewa. Padahal, pada episode selanjutnya dijelaskan bahwa kekuatan sesungguhnya seorang ninja bukan dari kehebatan jutsu yang dimiliki, tapi dari tekat dan kesungguhan dalam membantu sesama.
Pelajaran tentang menerima kelalahan itu perlu
Wahai orangtua atau calon orangtua, apa sebenarnya yang hendak kalian bentuk dari diri anak-anak kalian. Kualitas manusia seperti apakah yang kalian harapkan ketika mereka sudah dewasa? Dalam hidup, kita selalu merasakan dua kondisi. Menang dan kalah. Entah dalam pekerjaan, sekolah, bertetangga dan hal yang lain. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai mahkluk yang berkompetisi. Bahkan kita tahu bahwa secara ilmiah, manusia telah berkompetisi sejak menjadi sperma.
Namun demikian, kompetisi itu selalu berakhir dengan dua jawaban. Menang atau kalah sehingga harus ada 2 rencana yang kita siapkan untuk menghadapi 2 jawaban tersebut. Sangat wajar apabila kita memiliki rasa optimis bahwa sesuatu yang kita lakukan bakal berhasil, tetapi tak menutup kemungkinan bahwa kegagalan bisa kita dapatkan.
Perihal sikap bersiap menerima kekalahan, menurut saya sangat perlu diajarkan kepada anak sejak dini. Orangtua harus tetap memberi semangat dan jangan memberikan beban terlalu berlebihan dengan mengatakan hal yang tak perlu. Semisal anak kita mendapat nilai jelek, lalu kita berkata "Kok nilaimu jelek, malu-maluin aja. Gak kayak kakakmu bla bla". Beneran, itu bakal menyakitkan.
Pada cerita Boruto, ia memiliki beban sebagai seorang anak hokage. Ia juga memiliki keinginan untuk diperhatikan oleh Sang Ayah melalui kemenangan yang hendak ia raih. Tak heran, Boruto menghalalkan segala cara agar bisa menang. Termasuk menggunakan alat sains ninja yang jelas-jelas dilarang.
Suatu hari, aku pernah mendapati teman sekelasku mencontek melalui smartphonenya. Ia mengatakan bahwa ia harus mendapatkan nilai terbaik agar orangtuanya bangga. Usut punya usut, ternyata kedua orangtuanya merupakan guru. Baginya, mendapat nilai terbaik adalah tujuan agar bisa dibanggakan.
Nah, dari sinilah saya belajar bahwa teman saya bukanlah orang yang bisa menerima kegagalan karena orangtuanya. Hanya saja, muncul pertanyaan. Mengapa tidak percaya diri dengan kemampuan pribadi? Mengapa gak belajar keras aja daripada nilai tinggi tapi mencontek. Kan lebih bangga kalau nilai bagus hasil pemikiran sendiri.
Ah entahlah, semuanya sangat berhubungan dengan sistem pendidikan di negeri ini juga, yang lebih menjunjung tinggi nilai-nilai dibanding kejujuran. Saya rasa, anak-anak layaknya Boruto di Indonesia ini begitu banyak. Mereka bimbang memilih antara kejujuran atau kemenangan. Sering kita menemui mereka di dalam kelas. Anak-anak yang menghalalkan segala cara agar bisa mendapatkan nilai tertinggi.
Ketika ditanya alasan mereka memilih curang dalam ujian, jawaban mereka bervariasi. Ada yang takut tidak lulus, ada yang takut tak bisa masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya dan ada yang berkata bakal dimarahi orangtua dan lain sebagainya. Semua alasan itu jelas terpatri sempurna dalam benak anak-anak.
Tak heran memang, tiap orang takut untuk mengalami kekalahan atau kegagalan. Mungkin lebih tepatnya, anak-anak takut dengan reaksi orangtua atau keluarga mereka tatkala mendapati nilai yang begitu rendah. Mungkin, apabila orangtua mampu mengatakan "Jujurlah dalam mengerjakan sesuatu Nak, biarkan dirimu belajar menjadi diri sendiri", maka banyak dari anak-anak yang akan merubah pola perilaku curang menjadi perilaku belajar dari diri sendiri. Entahlah, semoga saja demikian!
Ujian di sekolah kita lebih menekankan pada hasil akhir berupa angka. Tak heran jika beberapa anak akan menghalalkan segala cara agar angka yang semula kecil bisa menjadi besar. Baiklah, jika mereka menggunakan kemampuan mereka, itu bagus. Tapi, bagaimana jika mereka mencontek?
"Bodo amatlah yang penting nilaiku bagus, dapat rangking dan bisa bikin bangga orangtua"
Gaes, apakah membuat bangga orangtua itu hanya dengan memdapat nilai besar tapi hasil curang? Tidak sayang. Justru kita harus bangga jika mampu mengerjakan karena kemampuan pikiran yang telah Tuhan anugerahkan. Coba rasakan korelasinya dengan cerita Boruto tadi. Ada benang-benang kusut yang musti dirapikan oleh para orangtua. Mengenai pelajaran menerima kekalahan dan melakukan sesuatu dengan basik kejujuran.Dalam anime, Boruto tak bisa jujur terhadap diri dan teman-temannya. Ia malah terjebak dalam kebahagiaan semu yang ditawarkan oleh alat ninja yang dipakainya. Niat hati membuat ayahnya bangga justru membuat Sang Ayah kecewa. Padahal, pada episode selanjutnya dijelaskan bahwa kekuatan sesungguhnya seorang ninja bukan dari kehebatan jutsu yang dimiliki, tapi dari tekat dan kesungguhan dalam membantu sesama.
Pelajaran tentang menerima kelalahan itu perlu
Wahai orangtua atau calon orangtua, apa sebenarnya yang hendak kalian bentuk dari diri anak-anak kalian. Kualitas manusia seperti apakah yang kalian harapkan ketika mereka sudah dewasa? Dalam hidup, kita selalu merasakan dua kondisi. Menang dan kalah. Entah dalam pekerjaan, sekolah, bertetangga dan hal yang lain. Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai mahkluk yang berkompetisi. Bahkan kita tahu bahwa secara ilmiah, manusia telah berkompetisi sejak menjadi sperma.
Namun demikian, kompetisi itu selalu berakhir dengan dua jawaban. Menang atau kalah sehingga harus ada 2 rencana yang kita siapkan untuk menghadapi 2 jawaban tersebut. Sangat wajar apabila kita memiliki rasa optimis bahwa sesuatu yang kita lakukan bakal berhasil, tetapi tak menutup kemungkinan bahwa kegagalan bisa kita dapatkan.
Perihal sikap bersiap menerima kekalahan, menurut saya sangat perlu diajarkan kepada anak sejak dini. Orangtua harus tetap memberi semangat dan jangan memberikan beban terlalu berlebihan dengan mengatakan hal yang tak perlu. Semisal anak kita mendapat nilai jelek, lalu kita berkata "Kok nilaimu jelek, malu-maluin aja. Gak kayak kakakmu bla bla". Beneran, itu bakal menyakitkan.
Pada cerita Boruto, ia memiliki beban sebagai seorang anak hokage. Ia juga memiliki keinginan untuk diperhatikan oleh Sang Ayah melalui kemenangan yang hendak ia raih. Tak heran, Boruto menghalalkan segala cara agar bisa menang. Termasuk menggunakan alat sains ninja yang jelas-jelas dilarang.
Nah, dari sinilah saya belajar bahwa teman saya bukanlah orang yang bisa menerima kegagalan karena orangtuanya. Hanya saja, muncul pertanyaan. Mengapa tidak percaya diri dengan kemampuan pribadi? Mengapa gak belajar keras aja daripada nilai tinggi tapi mencontek. Kan lebih bangga kalau nilai bagus hasil pemikiran sendiri.
Ah entahlah, semuanya sangat berhubungan dengan sistem pendidikan di negeri ini juga, yang lebih menjunjung tinggi nilai-nilai dibanding kejujuran. Saya rasa, anak-anak layaknya Boruto di Indonesia ini begitu banyak. Mereka bimbang memilih antara kejujuran atau kemenangan. Sering kita menemui mereka di dalam kelas. Anak-anak yang menghalalkan segala cara agar bisa mendapatkan nilai tertinggi.
Ketika ditanya alasan mereka memilih curang dalam ujian, jawaban mereka bervariasi. Ada yang takut tidak lulus, ada yang takut tak bisa masuk ke jenjang pendidikan selanjutnya dan ada yang berkata bakal dimarahi orangtua dan lain sebagainya. Semua alasan itu jelas terpatri sempurna dalam benak anak-anak.
Tak heran memang, tiap orang takut untuk mengalami kekalahan atau kegagalan. Mungkin lebih tepatnya, anak-anak takut dengan reaksi orangtua atau keluarga mereka tatkala mendapati nilai yang begitu rendah. Mungkin, apabila orangtua mampu mengatakan "Jujurlah dalam mengerjakan sesuatu Nak, biarkan dirimu belajar menjadi diri sendiri", maka banyak dari anak-anak yang akan merubah pola perilaku curang menjadi perilaku belajar dari diri sendiri. Entahlah, semoga saja demikian!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Mohon tidak memberikan komentar dengan link hidup karena akan langsung dihapus dan ditandai spam