Saya merasa miris tiap kali melihat anak-anak berseragam sekolah datang ke warung, membeli beberapa batang rokok menggunakan uang saku mereka. Mereka membeli rokok kemudian langsung menghisapnya begitu keluar dari warung. Sebagai seorang yang tidak suka dengan asap rokok, pemandangan demikian sangat mengganggu saya. Apalagi, mereka anak sekolah.
Apakah mereka memikirkan mengenai efek yang ditimbulkan jika terus seperti itu, baik untuk dirinya maupun orang lain? Berpikirkah mereka mengenai orang-orang di sekitar yang mengernyitkan dahi karena terganggu dengan semburan asap rokoknya itu. Itu baru beberapa anak, kawan. Bagaimana dengan anak-anak sekolah yang lain? Ah, entahlah, membayangkan beberapa anak saja rasanya saya cukup miris. Apalagi lebih banyak orang.
Apakah mereka memikirkan mengenai efek yang ditimbulkan jika terus seperti itu, baik untuk dirinya maupun orang lain? Berpikirkah mereka mengenai orang-orang di sekitar yang mengernyitkan dahi karena terganggu dengan semburan asap rokoknya itu. Itu baru beberapa anak, kawan. Bagaimana dengan anak-anak sekolah yang lain? Ah, entahlah, membayangkan beberapa anak saja rasanya saya cukup miris. Apalagi lebih banyak orang.
Kementerian Kesehatan pernah menyebutkan bahwa Indonesia menghadapi ancaman serius akibat peningkatan jumlah perokok, terutama kelompok anak-anak dan remaja. Peningkatan perokok pada remaja usia 15-19 tahun meningkat dua kali lipat dari 12,7% pada 2001 menjadi 23,1% pada 2016. Jumlah itu begitu membuat sedih karena disisi lain kita sedang gencar untuk mengurangi pengguna rokok. Itu saja masih dihitung dari remaja berusia 15-19 tahun. Bagaimana dengan anak-anak berusia dibawah 15 tahun, apakah mereka bisa menjangkau rokok? Sangat mungkin bisa, banyak faktor yang menyebabkan keterjangkauannya.
Sumber foto : Bandungnewsphoto.com |
Apa yang membuat anak-anak mudah menjangkau rokok? Sepertinya, urgensitas pengunaan dan keterjangkauan rokok usia anak-anak hingga remaja memang perlu dibahas untuk dicari solusi bersama. Memang, pembahasannya akan membutuhkan banyak pertimbangan. Apalagi industri rokok termasuk penyumbang pendapatan negara dan penyerap tenaga kerja di Indonesia.
Memahalkan harga rokok termasuk salah satu cara yang sedang diperbincangkan dalam berbagai channel. Termasuk menjadi pembahasan dalam program radio publik KBR bahwa #RokokHarusMahal paling tidak #Rokok50Ribu merupakan harga minimal yang bisa diterapkan untuk mengurangi para remaja dan anak-anak yang kecanduan.
Memahalkan harga rokok termasuk salah satu cara yang sedang diperbincangkan dalam berbagai channel. Termasuk menjadi pembahasan dalam program radio publik KBR bahwa #RokokHarusMahal paling tidak #Rokok50Ribu merupakan harga minimal yang bisa diterapkan untuk mengurangi para remaja dan anak-anak yang kecanduan.
Banyak sekali informasi dari berbagai media mengenai anak kecil yang merokok. Salah satunya adalah kasus balita perokok di Banyuasin Sumatra selatan. Sebut saja nama balita tersebut adalah Dodo. Dodo merupakan satu dari balita yang diketahui suka merokok. Bahkan ia bisa menghabiskan rokok lebih dari satu bungkus perhari. Ya, satu bungkus lebih. Coba bayangkan kawan, kita merasakan asap rokok dari satu orang disekitar saja rasanya sudah sesak, apalagi membayangkan menghisapnya langsung sebanyak satu bungkus per hari.
Tentu itu bukan perkara sepele. Apalagi Dodo masih balita. Di usia dia saat itu yang baru berumur 2,5 tahun, seharusnya ia masih dalam masa berkembang dan membutuhkan asupan berupa makanan bergizi dari orang tuanya, bukan malah diberi asupan berbahaya berupa rokok.
Tentu itu bukan perkara sepele. Apalagi Dodo masih balita. Di usia dia saat itu yang baru berumur 2,5 tahun, seharusnya ia masih dalam masa berkembang dan membutuhkan asupan berupa makanan bergizi dari orang tuanya, bukan malah diberi asupan berbahaya berupa rokok.
Apakah masih ada kasus yang lain? Ya, ada. Mari kita tengok ke daerah Sukabumi pada tahun 2012 lalu. Seorang anak berusia 8 tahun diketahui suka merokok, sebut saja namanya Anonim. Di tempatnya, Anonim tidak hanya dikenal sebagai bocah perokok, ia juga kerap kali mengatakan kata-kata kasar kepada orang lain. Nah, pada kasus ini, kita bisa sedikit mengambil benang merah bahwa peran orangtua dan lingkungan sekitar begitu besar pengaruhnya.
Berikut merupakan profil narasumber dalam diskusi bersama KBR dengan tema "Lindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal" kali ini.
Melalui survei yang dilakukan oleh berbagai pihak, baik oleh kementerian kesehatan maupun Yayasan Lenteran Anak, ada alasan-alasan tertentu yang melatarbelakangi mudahnya remaja dan anak-anak membeli rokok di sekitar mereka.
Bukan hanya menyoal hukum yang dibuat pemerintah, penegasan aturan mengenai larangan merokok juga perlu diakukan oleh sivitas akademik. Tujuannya jelas, untuk mencegah masuknya rokok dikalangan pelajar. Realisasi tindakannya bisa berupa sidak dan memanggil anak-anak yang kedapatan membawa rokok.
Seperti ketika saya bersekolah SMP dan SMA. Beberapa kali guru BK masuk kelas secara tiba-tiba. Setiap tas, laci meja dan saku seragam anak-anak diperiksa, dan biasanya dari sekian banyak anak, ditemukan rokok pada teman-teman saya. Anak-anak yang kedapatan membawa rokok akan dipanggil ke ruang BK untuk diberi arahan.
Arahan tersebut dimaksudkan supaya anak-anak bisa lebih sadar mengenai bahaya rokok. Saya yakin bahwa arahan semacam itu belum tentu membuat jera. Bahkan masih banyak yang secara sembunyi-sembunyi merokok di toilet sekolah. Namun, setidaknya, saat itu saya cukup respek dengan pihak sekolah yang secara tegas dan teratur melakukan sidak demi kepentingan bersama.
Masih sering kita lihat, pedagang yang melakukan jual beli rokok secara eceran. Entah yang membeli orang dewasa atau anak-anak, pedagang tidak akan peduli. Asal barang dagangnya laku dan terjual, its okay bagi mereka para pedagang.
Nah, perilaku seperti itulah yang membuat persebaran rokok dikalangan remaja maupun anak-anak kian marak. Pedagang tidak melarang anak-anak kecil membeli rokok.
Yang ketiga, masih banyak produsen rokok yang kurang peduli. Mereka memasang spanduk-spanduk iklan rokok di tempat umum. Lebih mirisnya lagi, spanduk-spanduk tersebar di area pendidikan seperti dekat kampus atau sekolah-sekolah.
Padahal, spanduk iklan rokok tak boleh sembarangan dipasang. Apalagi di area pendidikan yang notabene banyak anak-anak belajar. Peraturan mengenai larangan pemasangan spanduk iklan rokok memang perlu dipertegas dan diperinci supaya produsen rokok tidak sembarangan mempromosikan produknya.
Selain promosi, adanya role model juga berpengaruh terhadap pembelian rokok oleh remaja dan anak-anak. Role model itu bisa selebritas yang sedang populer saat itu, atau bahkan orang-orang terdekat mereka seperti keluarga atau guru disekolah.
Yang keempat, Harga rokok di Indonesia begitu murah. Sangat terjangkau bahkan untuk anak SD sekalipun. Ini tentu sangat fatal.
Dalam diskusi bersama KBR, Ibu Lisda Sundari mengatakan bahwa harga rokok bekisar Rp 2000 per batang, dimana itu sangat terjangkau bagi anak-anak. Bahkan sesuai dengan survei oleh Lentera anak, pada beberapa promotor memberi informasi mengenai harga per batang rokok yang dinilai mampu membuat orang lebih tertarik untuk membelinya. Ini jelas perilaku keliru yang harus dicegah.
Harga rokok sangatlah murah, bahkan hampir menyamai harga satu butir telur. Coba kita hitung bersama. Saat ini ditempat saya, harga telur perbutir sebesar Rp 2200. Jika dalam sehari bisa membeli 1 bungkus rokok seharga Rp 24.000,- maka menguaplah sudah kesempatan untuk membeli 10 butir telur ( 10 butir x Rp 2200 = Rp 22.000)
Bagi saya, jelas lebih bermanfaat telur daripada rokok. Telur bisa digunakan sebagai sumber gizi bagi tubuh. Sedangkan rokok mampu membuat orang merasa ketergantungan dan merusak kesehatan.
Ibu Sophiati (Ketua Majelis Kesehatan Aisyiyah Jatim) bahkan mengatakan bahwa organisasi Muhammadiyah telah membuat fatwa haram tentang rokok. Ibu Sophi saat ini juga sedang membuat program yang bertujuan untuk membekali pengetahuan para pendidik mengenai bahaya merokok. Tujuannya supaya bisa disosialisasikan ke siswa dengan maksud supaya para siswa dapat mengajak orang tua mereka untuk berhenti merokok. Yap, program tersebut merupakan bagian dari dakwah organisasi Aisyiyah untuk menghentikan penggunaan rokok.
Saya pun setuju mengenai fatwa haram rokok dan mendukung jika harganya dinaikkan. Melalui pernyataan juga pertanyaan netizen pada program siaran KBR juga terlihat bahwa mereka mendukung upaya menaikkan harga rokok. Tak ketinggalan, saya melakukan survei sederhana melalui story instagram mengenai kenaikan harga rokok. Hasilnya, 86% memilih mendukung dan 14% memilih tidak.
Ada sekitar 100 lebih orang yang melihat story di instagram saya, 86% memilih mendukung jika harga rokok senilai Rp 50.000. Dan pemilih paling tinggi yang setuju untuk menaikkan harga rokok adalah perempuan. Tetapi, laki-laki juga tidak kalah banyak yang mendukung, ada sekitar 34 orang.
Baiklah. itu sedikit survei sederhana dari saya. Semoga pemerintah segera membuat kebijakan terkait kenaikan harga cukai rokok supaya berimbas pada harga rokok yang menjadi mahal. Diharapkan dengan adanya realisasi harga rokok menjadi lebih mahal, para perokok bisa berkurang secara signifikan.
Rokok telah mengurangi jatah pembelian barang yang lebih bermanfaat. Rokok telah membuat masyarakat kelas bawah menjadi tidak sehat. Rokok secara tak langsung membuat anak Indonesia mengalami Stunting. Rokok telah mendukung terjangkitnya penyakit berbahaya bagi masyarakat. Rokok telah menyebabkan kemiskinan. Oleh karena hal tersebut, secara gamblang dan keras, saya mendukung jika harga rokok harus mahal.
Saya dukung #RokokHarusMahal, Saya dukung #Rokok50Ribu
Sumber informasi :
-Siaran radio KBR "Lindungi Anak Indonesia, Rokok Harus Mahal"
-www.bbc.com
-Bandungnewsphoto.com
Setuju dengan kebijakan rokok harus mahal. Karena melindungi tunas bangsa yang akan memikul tanggungjawab masa depan itu darurat dan penting dibandingkan berpikir secara ekonomi. Tapi anak butuh teladan dari orangtua, keluarga , juga lingkungan sekitar.
BalasHapusBener bund, biasanya sih anak-anak itu mulai membentuk sikapnya dari orang disekitar mereka. Termasuk orangtua mereka hehe
Hapus