Cerita semacam itu sebenarnya
satu dari sekian banyak cerita yang sering saya baca di media sosial dan dengar
dari orang-orang terdekat. Banyak para wanita berbagi pengalamannya seputar
tindak kejahatan seksual yang dialami mereka. Wanita menjadi sasaran empuk
tindak kejahatan bernama pelecehan seksual, meski sebenarnya lelakipun bisa
menjadi korbannya. Tentu, tindakan pelecehan seksual meninggalkan bekas berupa
trauma bagi korban yang mengalaminya. Beberapa kejadian bahkan berujung pada
tindakan bunuh diri. Itu sangat miris sekaligus mengerikan.
Tak usah terlalu jauh. Teman saya
bahkan pernah mengalaminya. Meskipun masih tergolong ringan jika dilihat dari
tindakannya, namun menyisakan trauma bagi teman saya. Ketika itu dia pulang
dari acara organisasi kampus. Entah mengapa yang biasanya teman saya “bonceng”
malah memilih pulang sendirian. Saat diperjalanan, sekelompok laki-laki mulai
bersiul padanya dan mengatakan kalimat yang tak enak didengar. “Mbak,
jalan-jalan bareng saya yuk”. Sederhana memang hanya berupa kata-kata ajakan.
Tapi karena perkataan itu teman saya mengurung diri di kosan dan tidak berangkat
kuliah selama dua hari. Saat saya datang kekosannya dia menangis dan mulai
bercerita ke saya tentang pengalamannya itu. Dia takut.
Tak asing di kepala kita istilah
pelecehan seksual. Namun apakah kita sudah memahami betul setiap hal yang bisa
dikategorikan sebagai pelecehan seksual? Entahlah. Mungkin tak semua orang
paham bahwa bersiul dan bermain mata
saat seorang perempuan lewat adalah bentuk pelecehan seksual, tepatnya
pelecehan non-fisik.
Komnas perempuan pernah
membuat sebuah ulasan yang memberikan informasi mengenai beberapa hal yang
termasuk pada kategori pelecehan seksual diantaranya berupa perkosaan, siulan, bermain
mata, berkata tak pantas secara langsung, menunjukkan gesture bernuansa seksual,
berkomentar tak senonoh (berunsur seks) dimedia sosial, colekan dibagian tubuh
tertentu yang disengaja, menunjukkan materi yang berbau pornografi, dan
sebagainya yang menimbulkan rasa tak nyaman bahkan trauma psikologis bagi
korbannya.
Sebuah denting jam berdetak seirama
dengan denyut jantung seorang perempuan muda di sudut kamar itu. Mata perempuan
itu suram. Wajahnya penuh rasa cemas, takut dan kesedihan tak tertahankan.
Mulutnya mulai berteriak lirih, berharap ada malaikat baik disampingnya yang
kemudian akan memeluk dan mengatakan “Kau kuat dan kau akan baik-baik saja,
Nak”. Namun sayang, harapannya itu ternyata hanya sebentuk ilusi yang ia
ciptakan untuk mencegah keinginan besarnya untuk mengakhiri hidup. Ia pun
memilih untuk menyerah pada kematian. Bunuh diri.
Bunuh diri? Iya. Pernahkah kamu
mendengar nama Laras Sukma Banowati ? Jika belum, dengarkan baik-baik. Dia
adalah salah satu gadis remaja yang memutuskan untuk mengakhiri hidup lantaran
depresi. Saya akan bercerita sedikit. Saat depresi, orang akan merasakan segala
sesuatu disekitarnya menjadi sangat menakutkan dan mengerikan. Optimisme dalam
diri menjadi sangat rendah dan muncul pikiran-pikiran bahwa mengakhiri hidup
adalah cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Lebih kurang, itu juga yang
pernah saya alami ketika saya merasa depresi berat beberapa waktu yang lalu
karena masalah keluarga.
Laras merupakan siswi SMP 2
Cimenyan kabupaten Bandung. Gadis itu merupakan korban pelecehan seksual yang dilakukan
oleh tetangganya. Menurut orang terdekat korban, Laras sempat menjalani
aktivitas normal seperti sekolah dan berkumpul bersama teman-teman sebayanya.
Hanya saja setelah beberapa orang wartawan datang dan mewawancarainya, perilaku
Laras mulai berubah. Ia cenderung lebih tertutup dan memilih untuk diam hingga
pada 28 maret 2017, ia ditemukan meninggal dengan gantung diri di kamarnya.
Ketakutan akan penilaian orang dan tersebarnya kasus yang menimpannya
memungkinkan ia memilih nekat untuk mengakhiri hidup.
Keputusan Laras untuk mengakhiri
hidup memang menyisakan duka dan tanda tanya besar bagi sebagian orang. Apa yang
membuatnya nekat mengakhiri hidupnya? Alasan malu? Bisa jadi! Coba jika kamu
menjadi Laras. Mungkin perasaanmu bercampur aduk. Ditambah wartawan yang mulai menanyai
ini itu dan membuatnya semakin depresi. Rasa malu bertemu oranglain ditambah
informasi tentang dirinya yang mungkin tersebar luas sebagai korban pelecehan
seksual. Apa kata oranglain nanti tentang dirinya dan keluarganya?
Kasus lain yang senada dengan Laras
ternyata juga bisa kita lihat di kehidupan selebritas luar negeri. Tahu Chester
Bennington? Let me tell you about him.
Para youtuber dan pecinta musik
rock pasti mengenalnya. Yups, dia adalah vokalis band rock tersohor bernama Linkin Park. Dibalik kesuksesan dan
hingar bingar hidupnya didunia musik, ternyata Chester menyimpan masa lalu yang
cukup kelam. Chester muda pernah menjadi korban pelecehan seksual oleh para
pria yang lebih dewasa darinya. Pengalamannya itu terus ia simpan hingga ia
dewasa dan menjadi luka tersendiri yang tak bisa disembuhkan. Selain itu,
Chester diketahui memiliki pengalaman buruk terhadap kehidupan keluarganya.
Ayah dan ibunya telah bercerai. Chester adalah korban broken home.
For Your Information, melalui Chester kita juga
tahu bahwa sebenarnya tindakan pelecehan seksual tidak hanya terjadi pada
wanita. Lelaki pun bisa menjadi korbannya. Namun, pada tulisan ini saya ingin
mengupas lebih banyak pelecehan seksual yang dialami oleh para wanita.
Perempuan (terutama) acapkali menjadi
korban keganasan para lelaki yang tak bertanggungjawab. Tindakan pelecehan
seksual bisa terjadi dimanapun, kapanpun dan kepada siapapun bahkan ditempat
yang ramai sekalipun. Ruang publik yang seharusnya nyaman dan aman untuk
melakukan aktivitas, nyatanya tidak aman-aman amat. Faktanya beberapa kejadian pelecehan seksual bahkan
terjadi di ruang publik. Di KRL atau bus kota misalnya. Beberapa wanita bahkan
pernah menceritakan pengalaman pahitnya saat dilecehkan diruang publik.
Jika kamu menjadi Chrisna, maka
kamu mungkin akan bingung harus berbuat apa. Mau mengatakan pada si korban,
namun takut diancam pelaku karena pelaku mungkin bisa membalas perbuatanmu.
Memang. Namun dengan diam. Justru perbuatan pelaku akan menjadi jadi.
Diammu
membuat pelaku tak pernah jera. Diammu mungkin akan membuat orang lain dalam bahaya.
Diammu bukanlah emas.
Keberanian dalam menyuarakan
kebenaran memang perlu energi dan mental yang kuat. Sebagai manusia yang
dikaruniai empati dan perasaan, kita harus dengan tegas melakukan tindakan
nyata untuk membantu para korban sebelum atau sesudah terjadi tindakan
pelecehan seksual. Dengan apa? Dengan memberi perlawanan bahkan berani bersuara
dan melaporkan tindakan pelaku pelecehan seksual.
Menjadi korban pelecehan seksual
bukan menjadi sesuatu yang diinginkan. Setiap orang menginginkan hidup nyaman
dan aman tanpa gangguan. Namun jika terlanjur menjadi korban, peran keluarga,
masyarakat dan media menjadi sesuatu yang sangat penting.
Keluarga adalah dasar dari seorang manusia berinterraksi. Oleh sebab itu, keluarga harus mampu memberikan
dukungan penuh. Membantu menyembuhkan perlahan trauma yang mendera korban
pelecehan. Bukan malah menyalahkan dan membuat korban justru semakin terpuruk. Melalui keluarga yang harmonis dan
saling melindungi, diharapkan muncul sebuah rasa aman dan nyaman bagi korban.
Well, Seperti halnya keluarga,
masyarakat juga punya pengaruh terhadap turun naiknya mental korban pelecehan
lho. Biasanya, Korban pelecehan cenderung rapuh ketika bertemu dengan
oranglain. Alasannya bisa jadi karena malu menjadi perbincangan. Apalagi jika
dilihat dari budaya masyarakat Indonesia yang suka berkelompok. Kebiasaan membulli
dan bergosip tak bisa dihindari. Jelas, menjadi bahan perbincangan negatif
orang sekampung tak enak dan mengganggu, bukan?
Lalu, bagaimana dengan peran media?
Baiklah. Mari kita berbincang. Tentu kita mengakui bahwa sekarang media menjadi
sesuatu yang penting bagi tersalurnya beragam informasi. Nah, peran media
terkait kasus pelecehan adalah berhubungan dengan pemberitaan yang positif bagi
saksi dan para korban pelecehan. Diantaranya adalah dengan penyamaran identitas,
foto, alamat, dan hal-hal lain yang bisa memojokkan saksi dan korban jika
diungkap dalam pemberitaan. Seperti apapun, para saksi dan korban membutuhkan
privasi.
Korban dan saksi sama-sama
membutuhkan perlindungan. Misalnya saja kasus pada Chrisna. Chrisna mendapat
perlakuan tak menyenangkan dari pelaku pelecehan seksual yang dilihatnya. Jika
sebelumnya ia menjadi saksi karena telah melihat aksi pelaku terhadap wanita di
kereta, beberapa hari kemudian ia menjadi korbannya. Alasannya jelas. Si pelaku
melakukan aksi balas dendam terhadapnya karena Chrisna memergoki perbuatan si
pelaku. Mungkin, karena takut aksi balasan itulah yang menyebabkan banyak saksi
memilih bungkam daripada bersuara. Mereka takut menjadi target selanjutnya.
Berani menyuarakan kebenaran
dengan melakukan pelaporan merupakan tindakan bernilai emas. Diam bukan pilihan
jika kita menyaksikan saudara kita, tetangga kita, ibu, adik, kakak bahkan
kawan-kawan kita terkena kasus pelecehan. Suara kita memberitahukan dunia bahwa
masih ada rasa kepeduliaan antar sesama untuk saling melindungi dan membela.
Melapor ke LPSK. Yaps, LPSK atau Lembaga
Perlindungan Saksi dan korban merupakan lembaga mandiri yang didirikan dan
bertanggung jawab untuk menangani pemberian perlindungan dan bantuan pada Saksi
dan Korban tindakan kriminal. Well,
ketika kita melapor ke LPSK, identitas kita sebagai pelapor (saksi) terjamin
kerahasiaannya. Kita tak perlu khawatir jika informasi pribadi kita tersebar ke
ranah publik.
Kasus pelecehan seksual diketahui
tidak terusut secara tuntas karena minimnya pengaduan dari para saksi dan
korban. Saat terjadi pelecehan, korban atau saksi tidak memperpanjang kasus
dengan memilih diam. Hal tersebut dipilih, bisa jadi karena mereka takut diketahui identitasnya dan mungkin bisa terkena ancaman dari pihak-pihak tertentu.
But, Bukan itu solusinya!! Adanya LPSK menunjukkan kepedulian negara dalam melindungi warga negaranya, melindungi saksi dan korban dalam kasus kriminal. Ingat kawan, dengan diam bisa jadi oranglain dalam bahaya, terkadang menyuarakan keberanian lebih bernilai emas. Tak perlu takut untuk lapor ke LPSK ketika menjadi korban atau saksi terhadap kasus yang terjadi.
But, Bukan itu solusinya!! Adanya LPSK menunjukkan kepedulian negara dalam melindungi warga negaranya, melindungi saksi dan korban dalam kasus kriminal. Ingat kawan, dengan diam bisa jadi oranglain dalam bahaya, terkadang menyuarakan keberanian lebih bernilai emas. Tak perlu takut untuk lapor ke LPSK ketika menjadi korban atau saksi terhadap kasus yang terjadi.
Berbincang mengenai LPSK, LPSK
telah bekerjasama dengan beberapa lembaga lain lho seperti mahkamah Konstitusi
Republik Indonesia, Kementrian Hukum dan HAM, DPR RI, KPK dan Komnas HAM.
Melalui kerjasama tersebut diharapkan mampu meningkatkan pelayanan dan
menumbuhkan kepercayaan pada masyarakat sehingga menciptakan kolaborasi yang
kuat antar elemen. Berbagai elemen yang ada termasuk masyarakat sendiri dan media
sebagai perantara informasi menjadi bagian penting.
Bahkan, dalam sebuah forum
diskusi yang dilaksanakan di Pontianak, Abdul
Haris Semendawai selaku ketua LPSK dan rekan media membuat sebuah perjanjian
dalam hal pemberitaan. Pada tahun 2014 sebuah kesepakatan berupa MOU telah
disetujui antara LPSK dengan dewan pers. Tujuannya jelas? Menghindari terjadinya
pemberitaan yang menjatuhkan, berlebihan dan merugikan para saksi dan korban. Upaya
LPSK mendekati media disambut baik oleh pihak media yang hadir dalam diskusi
ini. Upaya ini dapat membuka wawasan insan media, terutama di daerah untuk
mengenal LPSK lebih dalam.
"Adanya diskusi ini kami jadi tahu LPSK,
layanan yang diberikan, hingga pentingnya melindungi korban melalui pemberitaan”
ucap Ahmad Saroso selaku penanggungjawab
Redaksi Tribun Pontianak.
Sebagai bentuk pengenalan ke
masyarakat mengenai perannya, LPSK telah melakukan sosialisasi ke beberapa wilayah, termasuk kota Jambi. Sosialisasi itu
berupa seminar yang dihadiri aparat penegak hukum di Provinsi Jambi serta para
pemangku kepentingan lainnya. Sosialisasi ini menampilkan narasumber dari internal
LPSK yaitu Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani, Staf Ahli Gubernur Jambi Tagor
Nasution dan Kasubdit IV Reskrim Perlindungan Perempuan dan Anak Polda Jambi
AKBP Heri Manurung.
Well, LPSK merupakan lembaga yang menjadi solusi bagi kita untuk melapor sebagai
korban atau saksi tindak pelecehan seksual. Jika sudah ada solusi dihadapan kita.
Mengapa tidak kita ambil?
Sumber referensi :
https://www.lpsk.go.id/
http://www.hipwee.com/travel/kisah-pelecehan-yang-terjadi-di-bus-dan-krl-pelaku-menggesek-gesek-kemaluan-dan-meneror-perempuan/
https://www.komnasperempuan.go.id/
https://psikologiabnormal.wikispaces.com/Eksibisionis
https://www.instagram.com/infocegatan_jogja/?hl=id
Tepat sekali Mbak, untuk hal seurgent ini tidak berlaku pepatah "diam itu emas". Laporkan lebih baik!
BalasHapusYap, tepat sekali kakak. Kadang banyak sekali kejadian disekitar kita yang tak terlaporkan karena beberapa alasan. Salah satunya karena takut jadi milih diam. Padahal gak semua diam itu baik :D
HapusKebanyakan para korban lebih memilih diam daripada bersuara. Aku suka artikel ini, setidaknya membuka mata bahwa korban layak dilindungi.
BalasHapusSerem ya jangan sampai ada korban2 depresi yang lain yang berujung tindakan bunuh diri. Nice info :)
Iya kak, kadang saya juga mikir kalau orang depresi bakaln bisa bertindak apa aja, termasuk bunuh diri. Kasus yang terjadi juga jarang yang terungkap karna banyak saksi milih diam..
HapusArtikelnya bagus, enak dibaca. Banyak pelajaran yang dapat diambil. Thanks artikelnya Bermanfaat banget buat aku
BalasHapusmakasih kak,
HapusSemoga bemanfaat :)
Bener banget ini kak, apalagi buat para perempuan kudu bener" jaga diri dan harus membekali diri sebaik mungkin biar terhindar dari hal" plecehan macam apapun itu. Thanks ya kak tulisannya sudah mengingatkan kita semua khususnya para wanita agar lebih berhati-hati 😊😀
BalasHapusiya kak, sama2. Setiap orang harusnya memang saling mengingatkan. Apalagi kita sebagai perempuan benar2 sangat penting untuk saling menjaga :)
Hapus